Kecakapan intelektual peserta didik
Adalah kecakapan
yang dimiliki masing-masing individu. Untuk menjadi guru yang profesional harus
memiliki beberapa kompetensi. Dalam undang-undang Guru dan Dosen No.14/2005 dan
Peraturan Pemerintah No.19/2005 dinyatakan bahwa kompetensi guru meliputi
kompetensi . intelektual, sosial, emosional, dan ketrampilan. Guru profesional adalah
guru yang ingin mengedepankan mutu dan kualitas layanandan produknya, layanan
guru harus memenuhi standarisasi kebutuhan masyarakat, bangsa dan pengguna
serta memaksimalkan kemampuan
. peserta didik agar memiliki kesiapan dalam menghadapi persaingan
global yang semakin ketat dengan bangsa lain. Guru merupakan tenaga
kependidikan yang memiliki tugas utama untuk mendidik, mengajar, melatih, serta
mengarahkan peserta didik agar memiliki kesiapan dalam menghadapi
persaingan global yang semakin ketat dengan bangsa lain. Oleh karena itu
kedudukan guru sebagai tenaga professional sangatalah penting dalam terwujudnya
visi dan misi penyelenggaraan pembelajaran pada satuan pendidikan dimana ia
melaksanakan tugasnya. Untuk menjadi guru yang profesional harus memiliki
beberapa kompetensi. Dalam undang-undang Guru dan Dosen No.14/2005 dan
Peraturan Pemerintah No.19/2005 dinyatakan bahwa kompetensi guru meliputi
kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik, kompetensi professional dan
kompetensi sosial. Semua kompetensi tersebut harus dimiliki oleh seorang guru
dalam melakukan kegiatan mengajar di sekolah. Guru yang bermutu adalah guru
yang profesional dalam pekerjaannya karena guru yang profesional senantiasa
dapat meningkatkan kualitasnya. Oleh karena itu seorang guru harus mampu
menguasai kompetensi tersebut sehingga peserta didik dapat dengan mudah
menyerap ilmu yang didapat.
Kesulitan Belajar Siswa
Sudah kita bahas pada postingan yang lalu bahwa pengertian
kesulitan belajar adalah suatu kondisi dimana kompetensi atau
prestasi yang dicapai tidak sesuai dengan kriteria standar yang telah
ditetapkan. Kondisi yang demikian umumnya disebabkan oleh faktor biologis atau
fisiologis, terutama berkenaan dengan kelainan fungsi otak yang lazim disebut
sebagai kesulitan belajar spesifik, serta faktor psikologis yaitu kesulitan yang berkenaan dengan
rendahnya motivasi dan minat belajar. Pada kesempatan kali ini saya akan
membahas tentang gejala atau tanda-tanda kesulitan belajar.
Tanda dari kesulitan belajar sangat bervariasi, tergantung dari usia pada
saat itu. Sensitifitas atau kepekaan orang tua dan guru seringkali sangat membantu dalam
deteksi dini.
Orang tua atau guru yang melihat adanya kesenjangan
yang konsisten antara kemampuan akademik anak dengan
kemampuan rata-rata teman sekelasnya atau prestasi
anak yang tidak
kunjung meningkat walaupun pelajaran tambahan sudah diberikan, haruslah mulai
berfikir apa yang sebenarnya terjadi dalam diri sang anak.
Apalagi jika disertai oleh beberapa Macam-macam Kesulitan Belajar Siswa di bawah ini :
- Keterlambatan berbicara jika dibandingkan anak seusianya
- Adanya kesulitan dalam pengucapan kata
- kemampuan penguasaan jumlah kata yang minim
- Seringkali tidak mampu menemukan kata yang sesuai untuk suatu kalimat.
- Kesulitan untuk mempelajari dan mengenali angka, huruf dan nama-nama hari dalam seminggu
- Mengalami kesulitan dalam menghubung-hubungkan kata dalam suatu kalimat
- Kegelisahan yang sangat ekstrim dan mudah teralih perhatiannya
- Kesulitan berinteraksi dengan anak seusianya
- Menunjukkan kesulitan dalam mengikuti suatu petunjuk atau rutinitas tertentu
- Selalu menghindari permainan `puzzles’
- Menghindari pelajaran menggambar atau prakarya tertentu seperti menggun-ting
Untuk dapat menetapkan gejala
kesulitan belajar
dan menandai siswa yang mengalami kesulitan, maka diperlukan kriteria sebagai
batas atau patokan, sehingga dengan kriteria ini dapat ditetapkan batas dimana
siswa dapat diperkirakan mengalami kesulitan. Terdapat empat ukuran dapat
menentukan kegagalan atau kemajuan belajar siswa : (1) tujuan pendidikan; (2) kedudukan dalam kelompok; (3) tingkat pencapaian hasil belajar dibandingkan dengan potensi; dan (4) kepribadian.(Abin syamsudin, 2003).
A. Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual
merupakan pembelajaran yang mengkaitkan materi pembelajaran dengan konteks
dunia nyata yang dihadapi siswa sehari-hari baik dalam lingkungan keluarga,
masyarakat, alam sekitar dan dunia kerja, sehingga siswa mampu membuat hubungan
antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan
sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran yakni :
kontruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menyelidiki
(inquiry), masyaraka belajar (learning community), pemodelan (modeling),
refleksi (reflection), dan
penilaian autentik (authentic
assessment).
Makna dari kontruktivisme adalah
siswa mengkonstruksi/membangun pemahaman mereka sendiri dari pengalaman baru
berdasar pada pengetahuan awal melalui proses interaksi sosial dan
asimilasi-akomodasi.
Implikasinya adalah pembelajaran
harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi” bukan menerima pengetahuan. Inti
dari inquiry atau menyelidiki adalah proses perpindahan dari pengamatan
menjadi
pemahaman. Oleh karena itu dalam
kegiatan ini siswa belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis Bertanya
atau questioning dalam pembelajaran kontekstual dilakukan baik oleh guru
maupun siswa. Guru bertanya dimaksudkan untuk mendorong, membimbing dan menilai
kemampuan berpikir siswa. Sedangkan untuk siswa bertanya meupakan bagian
penting dalam pembelajaran yang berbasis
inquiry. Masyarakat belajar merupakan sekelompok orang (siswa) yang
terikat dalam kegiatan belajar, pengalaman, dan berbagi pengalaman. Sesuai
dengan teori kontruktivisme, melalui interaksi sosial dalam masyarakat belajar
ini maka siswa akan mendapat kesempatan untuk mengkonstruksi pengetahuannya
sendiri, oleh karena itu bekerjasama dengan orang lain lebih baik daripada
belajar sendiri.
Pemodelan merupakan proses
penampilan suatu contoh agar orang lain (siswa) meniru, berlatih, menerapkan
pada situasi lain, dan mengembangkannya. Menurut Albert Bandura, belajar dapat
dilakukan dengan cara pemodelan ini. Penilaian autentik dimaksudkan untuk
mengukur dan membuat keputusan tentang pengetahuan dan keterampilan siswa yang autentik
(senyatanya). Agar dapat menilai senyatanya, penilaian autentik dilakukan
dengan berbagai cara misalnya penilaian produk, penilaian kinerja (performance),
potofolio, tugas yang relevan dan kontekstual, penilaian diri, penilaian
sejawat dan sebagainya. Refleksi pada prinsipnya adalah berpikir tentang apa
yang telah dipikir atau dipelajari, dengan kata lain merupakan evaluasi dan
instropeksi terhadap kegiatan
belajar yang telah ia lakukan.
Alasan perlu diterapkannya
pembelajaran kontekstual adalah :
1. Sebagian besar waktu belajar
sehari-hari di sekolah masih didominasi kegiatan penyampaian pengetahuan oleh
guru, sementara siswa ”dipaksa” memperhatikan dan menerimanya, sehingga tidak
menyenangkan dan memberdayakan
siswa.
2. Materi pembelajaran bersifat
abstrak-teoritis-akademis, tdak terkait dengan masalah-masalah yang dihadapi
siswa sehari-hari di lingkungan keluarga, masyarakat, alam sekitar dan dunia
kerja.
3. Penilaian hanya dilakukan
dengan tes yang menekankan pengetahuan, tidak menilai kualitas dan kemampuan
belajar siswa yang autentik pada situasi yang autentik.
4. Sumber belajar masih terfokus
pada guru dan buku. Lingkungan sekitar belum dimanfaatkan secara optimal.
Landasan filosofi pemelajaran
kontekstual adalah konstruktivisme yang menyatakan bahwa pengetahuan tidak
dapat ditransfer dari guru ke siswa seperti halnya mengisi botol kosong, sebab
otak siswa tidak kosong melainkan sudah berisi pengetahuan hasil
pengalaman-pengalaman sebelumnya. Siswa tidak hanya ”menerima” pengetahuan,
namun ”mengkonstruksi” sendiri pengetahuannya melalui proses intra-individual (asimilasi
dan akomodasi) dan inter-individual (interaksi sosial).
Pembelajaran kontekstual
sebenarnya bukam merupakan pendekatan yang sama sekali baru. Dasar pembelajaran
kontekstual sudah dikembangkan oleh John Dewey sejak tahun 1916. Pendekatan ini
kemudian digali kembali, dikembangkan lagi, dan dipopulerkan oleh The
Washington State Concorcium for Contextual Teaching and Learning dengan melibatkan 11
perguruan tinggi, 20 sekolah, dan lembaga-lembaga yang bergerak dalam dunia
pendidikan di Amerika Serikat.
B. Penerapan Pembelajaran
Kontekstual
Pembelajaran dikatakan mengunakan
pendekatan kontekstual jika materi pembelajaran tidak hanya tekstual melainkan
dikaitkan dengan penerapannya
dalam kehidupan sehari-hari siswa di lingkungan keluarga, masyarakat, alam
sekitar, dan dunia kerja, dengan melibatkan ketujuh komponen utama tersebut
sehinggga pembelajaran menjadi bermakna bagi siswa. Model pembelajaran
apa saja sepanjang memenuhi persyaratan tersebut dapat dikatakan menggunakan pendekatan kontekstual.
Pembelajaran kontekstual dapat
diterapakan dalam kelas besar maupun kelas kecil, namun akan lebih mudah
organisasinya jika diterapkan dalam kelas kecil. Penerapan pembelajaran
kontekstual dalam kurikulum berbasis kompetensi sangat sesuai. Dalam
penerapannya pembelajaran kontekstual tidak memerlukan biaya besar dan media khusus.
Pembelajaran kontekstual memanfaatkan berbagai sumber dan media pembelajaran
yang ada di lingkungan sekitar seperti tukang las, bengkel, tukang reparasi
elektronik, barang-barang bekas, koran, majalah, perabot-perabot rumah tangga,
pasar, toko, TV, radio, internet, dan sebagainya. Guru dan buku bukan merupakan
sumber dan media sentral, demikian pula guru tidak dipandang sebagai orang yang
serba tahu, sehingga guru tidak perlu khawatir menghadapi berbagai pertanyaan iswa
yang terkait dengan lingkungan baik tradisional maupun modern. Seperti yang
dikemukakan di muka, dalam pembelajaran kontekstual tes hanya merupakan
sebagian dari teknik/ instrumen penelitian yang bermaca-macam seperti
wawancara, observasi, inventory, skala sikap, penilaian kinerja, portofolio,
jurnal siswa, dan sebagainya yang semuanya
disinergikan untuk menilai
kemampuan siswa yang sebenarnya (autentik). Penilainya bukan hanya guru saja
tetapi juga diri sendiri, teman siswa, pihak lain (teknisi, bengkel, tukang
dsb.). Saat penilaian diusahakan pada situasi yang autetik misal pada saat
diskusi, praktikum, wawancara di bengkel, kegiatan belajar-mengajar di kelas
dan sebagainya.siswa.
Dalam pembelajaran kontekstual
rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) sebenarnya lebih bersifat sebagai rencana
pribadi dari pada sebagai laporan untuk kepala sekolah atau pengawas seperti
yang dilakukan saat ini.
Jadi RPP lebih cenderung berfungs
mengingatkan guru sendiri dalam menyapkan alat-alat/media dan mengendalikan
langkah-langkah (skenario) pembelajaran sehingga bentuknya lebih sederhana.
Beberapa model pembelajaran yang
meruapakan aplikasi pembelajaran kontekstual antara lain model pembelajaran
langsung (direct instruction), pembelajaran koperatif (cooperatif
learning), embelajaran
berbasis
masalah ( problem based learning).
TEORI
KOGNITIF SOASIAL (ALBERT BANDURA)
a) Teori pembelajaran kognitif sosial
Teori kognitif sosial diasaskan oleh Albert Bandura. Teori ini menjelaskan perilaku manusia dalam konteks interaksi timbal balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku dan pengaruh lingkungan. Keadaan lingkungan sekitar individu sangat berpengaruh pada pola pembelajaran sosial ini. Misalnya seorang kanak-kanak yang hidupnya dalam persekitaran judi, maka kanak-kanak tersebut akan cenderung untuk berjudi, atau sekurang-kurangnya menganggap bahawa judi itu merupakan perkara yang tidak salah serta tidak memudaratkan dirinya.
Perkara-perkara utama yang terlibat dalam pembelajaran pemerhatian adalah :
- Perhatian (Attention), merangkumi peristiwa peniruan (iaitu terdapatnya kejelasan, penglibatan perasaan, peningkatan kesukaran, kelaziman, nilai fungsi) dan ciri-ciri pemerhati (minat, persepsi, penguatan sebelumnya).
- Penyimpanan atau proses mengingat (Retention), meliputi kode-kode simbolik, pengorganisasian fikiran, pengulangan simbol, pengulangan motorik.
- Reproduksi motorik (Reproduction), merangkumi kemampuan fizik, kemampuan meniru.
- Motivasi, mencakup dorongan dari luar dan penghargaan terhadap diri sendiri (Motivation).
Selain itu juga yang harus diperhatikan bahawa faktor model atau teladan mempunyai prinsip-prinsip seperti berikut:
- Tingkat tertinggi belajar dari pemerhatian diperoleh dengan cara mengorganisasikan sejak awal dan mengulangi tingkah laku secara simbolik kemudian melakukannya. Proses mengingat akan lebih baik dengan cara menukarkan tingkah laku yang ditiru kedalam kata-kata, tanda atau gambar dari pada hanya memperhatikan saja. Sebagai contoh: Untuk mempelajari gerakan dalam seni tari dari tenaga pengajarnya memerlukan pemerhatian dari pelbagai sudut yang dibantu cermin dan kemudian ditiru oleh pelajar-pelajarnya dalam masa yang sama. Kemudian proses untuk mengulang tingkah laku tersebut akan lebih berkesan jika terdapat bantuan lain seperti penayangan video-video yang berkaitan, gambar atau dalam bentuk arahan-arahan yang tertulis dalam buku panduan.
- Individu lebih tertarik terhadap tingkah laku yang ditiru jika sesuai dengan nilai yang dimilikinya.
- Individu akan tertarik terhadap tingkah laku yang ditiru jika model tersebut disukai dan dihargai serta model yang diikutinya mempunyai nilai yang bermanfaat.
Teori kognitif sosial yang diasaskan oleh Bandura ini merupakan gabungan antara teori belajar behavioristik dengan penguatan dan psikologi kognitif, dengan prinsip modifikasi perilaku. Proses belajar masih berpusat pada penguatan, hanya terjadi secara langsung dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
b) Kaitkan dengan kreativitas
Penerapan teori belajar sosial dalam iklan TV. Iklan selalu menampilkan bintang-bintang yang popular dan disukai masyarakat, hal ini untuk mendorong pengguna untuk membeli sabun supaya mempunyai kulit seperti para "bintang" popular. Kebanyakan iklan yang disiarkan sama ada di kaca TV maupun di ruang udara Radio menampilkan artis-artis terkemuka serta menggabungkan elemen-elemen kreatif supaya pesan yang ingin disampaikan kepada pengguna kesampaian.
c) Beri contoh bagaimana perkaitan ini boleh diaplikasi dalam pengajaran dan pembelajaran komputer
Guru dapat memainkan peranan yang sangat penting sebagai ‘role model’ terhadap para pelajarnya. Semasa proses penyampaian, guru seharusnya mengaplikasikan elemen kreativiti supaya dapat menarik perhatian para pelajarnya dengan mempunyai ciri yang berbeda serta unik dari guru-guru yang lain seterusnya dapat menyakinkan pelajar-pelajarnya bahwa subjek yang diajarnya merupakan subjek yang sangat menarik.
TEORI
BELAJAR KONSTRUKTIVISTIK
DAN
PENERAPANNYA DALAM PEMBELAJARAN
Pada bagian ini dikaji tentang
pandangan konstruktivistik terhadap proses belajar dan aplikasinya dalam
kegiatan pembelajaran. Pembahasan diarahkan pada hal-hal seperti, karakteristik
manusia masa depan yang diharapkan, konstruksi pengetahuan, dan proses belajar
menurut teori konstruktivistis. Kajian diakhiri dengan memaparkan perbandingan
pembelajaran tradisional (behavioristik) dengan pembelajaran konstruktivistik.
1.
Karakteristik Manusia Masa Depan yang Diharapkan
Upaya membangun sumber daya manusia
ditentukan oleh karakteristik manusia dan masyarakat masa depan yang
dikehendaki. Karakteristik manusia masa depan yang dikehendaki tersebut adalah
manusia-manusia yang memiliki kepekaan, kemandirian, tanggung jawab terhadap
resiko dalam mengambil keputusan, mengembangkan segenap aspek potensi melalui
proses belajar yang terus menerus untuk menemukan diri sendiri dan menjadi diri
sendiri yaitu suatu proses … (to) learn to be. Mampu melakukan
kolaborasi dalam memecahkan masalah yang luas dan kompleks bagi kelestarian dan
kejayaan bangsanya (Raka Joni, 1990).
Kepekaan, berarti ketajaman baik dalam arti kemampuan berpikirnya,
maupun kemudah tersentuhan hati nurani di dalam melihat dan merasakan segala
sesuatu, mulai dari kepentingan orang lain sampai dengan kelestarian lingkungan
yang merupakan gubahan Sang Pencipta. Kemandirian, berarti kemampuan menilai
proses dan hasil berfikir sendiri di samping proses dan hasil berfikir orang
lain, serta keberanian bertindak sesuai dengan apa yang dianggapnya benar dan
perlu. Tanggung jawab, berarti kesediaan untuk menerima segala konsekuensi
keputusan serta tindakan sendiri. Kolaborasi, bearti disamping mampu berbuat
yang terbaik bagi dirinya sendiri, individu dengan ciri-ciri diatas juga mampu
bekerja sama dengan individu lainnya dalam meningkatkan mutu kehidupan bersama.
Langkah strategis bagi perwujudan
tujuan diatas adalah adanya layanan ahli kependidikan yang berhasil guna dan
berdaya guna tinggi. Student active learning atau pendekatan cara
belajar siswa aktif didalam pengelolaan kegiatan belajar mengajar yang mengakui
sentralitas peranan siswa didalam proses belajar, adalah landasan yang kokoh
bagi terbentuknya manusia-manusia masa depan yang diharapkan. Pilihan tersebut
bertolak dari kajian-kajian kritikal dan empirik disamping pilihan masyarakat
(Raka Joni, 1990)
Penerapan ajaran tut wuri
handayani merupakan wujud nyata yang bermakna bagi manusia masa kini dalam
rangka menjemput masa depan. Untuk melaksanakannya diperlukan penanganan yang
memberikan perhatian terhadap aspek strategis pendekatan yang tepat memusatkan
perhatian pada terbentuknya manusia masa depan yang memiliki karakteristik
diatas. Kajian terhadap teori belajar konstruktivistik dalam kegiatan belajar
dan pembelajaran memungkinkan menuju kepada tujuan tersebut.
2.
Konstruksi Pengetahuan
Untuk memperbaiki pendidikan
terlebih dahulu harus mengetahui bagaimana manusia belajar dan bagaimana cara
mengajarnya. Kedua kegiatan tersebut dalam rangka memahami cara manusia
mengkonstruksi pengetahuannya tentang objek-objek dan peristiwa-peristiwa yang
dijumpai selama kehidupannya. Manusia akan mencari dan menggunakan hal-hal atau
peralatan yang dapat membantu memahami pengalamannya. Demikian juga, manusia
akan mengkonstruksi dan membentuk pengetahuan mereka sendiri. Pengetahuan
seseorang merupakan konstruksi dari dirinya. Pada bagian ini akan dibahas teori
belajar konstruktivistik kaitannya dengan pemahaman tentang apa pengetahuan
itu, proses mengkonstruksi pengetahuan, serta hubungan antara pengetahuan,
realitas, dan kebenaran.
Apa
pengetahuan itu? Menurut
pendekatan konstruktivistik, pengetahuan bukanlah kumpulan fakta dari suatu
kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai kunstruksi kognitif
seseorang terhadap objek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan
bukanlah sesuatu yang sudah ada dan tersedia dan sementara orang lain tinggal
menerimanya. Pengetahuan adalah sebagai suatu pembentukan yang terus menerus
oleh seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena adanya
pemahaman-pemahaman baru.
Pengetahuan bukanlah suatu barang
yang dapat dipindahkan dari pikiran seseorang yang telah mempunyai pengetahuan
kepada pikiran orang lain yang belum memiliki pengetahuan tersebut. Bila guru
bermaksud untuk mentransfer konsep, ide, dan pengetahuannya tentang sesuatu
kepada siswa, pentransfer itu akan diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh
siswa sendiri melalui pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri.
Proses
mengkonstruksi pengetahuan. Manusia
dapat mengetahui sesuatu dengan menggunakan inderanya. Melalui interaksinya
dengan objek dan lingkungannya, misalnya dengan melihat, mendengar,menjamah,
mambau, atau merasakan, seseorang dapat mengetahui sesuatu. Pengetahuan
bukanlah sesuatu yang sudah ditentukan melainkan sesuatu proses pembentukan.
Semakin banyak seseorang berinteraksi dengan objek dan lingkungannya,
pengetahuan dan pemahamannya akan objek dan lingkungan tersebut akan meningkat
dan lebih rinci.
Von
Galserfeld (dalam
Paul, S., 1996) mengemukakan bahwa ada beberapa kemampuan yang diperlukan
dalam proses mengkonstruksi pengetahuan, yaitu;
1) Kemampuan
mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman
2) Kemampuan
membandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan
3) Kemampuan untuk
lebih menyukai suatu pengalaman yang satu dari pada lainnya.
Faktor-faktor yang juga mempengaruhi
proses mengkonstruksi pengetahuan adalah konstruksi pengetahuan yang telah ada,
domain pengalaman, dan jaringan struktur kognitif yang dimilikinya. Proses dan
hasil konstruksi pengetahuan yang telah dimiliki seseorang akan menjadi
pembatas konstruksi pengetahuan yang akan datang. Pengalaman akan fenomena yang
baru menjadi unsur penting dalam membentuk dan mengembangkan pengetahuan.
Keterbatasan pengalaman seseorang pada suatu hal juga akan membatasi
pengetahuannya akan hal tersebut. Pengetahuan yang telah dimiliki orang
tersebut akan membentuk suatu jaringan struktur kognitif dalam dirinya.
3.
Proses Belajar Menurut Teori Konstruktivistik
Proses belajar sebagai suatu usaha
pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melaui proses asimilasi dan
akomodasi, akan membentuk suatu konstruksi pengetahuan yang menuju pada
kemutakhiran struktur kognitifnya. Ada beberapa pandangan dari segi
konstruktivistik, dan dari aspek-aspek si-belajar, peranan guru, sarana
belajar, dan evaluasi belajar.
Proses
belajar konstruktivistik. Secara
konseptual, proses belajar jika dipandang dari pendekatan kognitif, bukan
sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri
siswa, melainkan sebagai pemberian makna oleh siswa kepada pengalamanya melalui
proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada pemutahkiran struktur
kognitifnya. Kegiatan belajar lebih dipandang dari segi prosesnya dari pada
segi perolehan pengetahuan dari fakta-fakta yang terlepas-lepas. Proses
tersebut berupa “…..constructing and restructuring of knowledge and
skills (schemata) within the individual in a complex network of increasing
conceptual consistency…..”. pemberian makna terhadap objek dan pengalaman
oleh individu tersebut tidak dilakukan secara sendiri-sendiri oleh siswa,
melainkan melalui interaksi dalam jaringan sosial yang unik, yang terbentuk
baik dalam budaya kelas maupun diluar kelas. Oleh sebab itu pengelolaan
pembelajaran harus diutamakan pada pengelolaan siswa dalam memproses
gagasannya, bukan semata-mata pada pengelolaan dan lingkungan belajarnya bahkan
pada unjuk kerja atau prestasi belajarnya yang dikaitkan dengan sistem
penghargaan dari luar seperti nilai, ijasah, dan sebagainya.
Peranan
Siswa (Si-Belajar). Menurut
pandangan konstrktivistik, belajar merupakan suatu proses pembentukan
pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh si belajar. Ia harus aktif
melakukan kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep dan memberi makna tentang
hal-hal yang sedang dipelajari. Guru memang dapat dan harus mengambil prakarsa
untuk menata lingkungan yang memberi peluang optimal bagi terjadinya belajar.
Namun yang akhirnya paling menentukan terwujudnya gejala belajar adalah niat
belajar siswa sendiri. Dengan istilah lain, dapat dikatakan bahwa hakekatnya
kendali belajar sepenuhnya ada pada siswa.
Paradigma konstruktivistik memandang
siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari
sesuatu. Kemampuan awal tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi
pengetahuan yang baru. Oleh sebab itu meskipun kemampuan awal tersebut masih
sangat sederhana atau tidak sesuai dengan pendapat guru, sebaiknya diterima dan
dijadikan dasar pembelajaran dan pembimbingan.
Peranan
Guru. Dalam
belajar konstruktivistik guru atau pendidik berperan membantu agar proses
pengkonstruksian pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Guru hanya membantu
siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Guru dituntut lebih memahami
jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam belaajar. Guru tidak dapat
mengklaim bahwa satu-satunya cara yang tepat adalah yang sama dan sesuai dengan
kemauannya.
Peranan kunci guru dalam interaksi
pendidikan adalah pengendalian, yang meliputi:
1) Menumbuhkan
kemandiriran dengan menyediakan kesempatan untuk mengambil keputusan dan
bertindak.
2) Menumbuhkan
kemampuan mengambil keputusan dan bertindak, dengan meningkatkan pengetahuan
dan ketrampilan siswa.
3) Menyediakan
sistem dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar siswa mempunyai peluang
optimal untuk berlatih.
Sarana
belajar. Pendekatan
konstruktivistik menekankan bahwa peranan utama dalam kegiatan belajar adalah
aktivitas siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu
seperti bahan, media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainnya disediakan
untuk membantu pembentukan tersebut. Siswa diberi kebebasan untuk mengungkapkan
pendapat dan pemikirannya tentang sesuatu yang dihadapinya. Dengan cara
demikian, siswa akan terbiasa dan terlatih untuk berfikir sendiri, memecahkan
masalah yang dihadapinya, mandiri, kritis, kreatif, dan mampu mempertanggung
jawabkan pemikirannya secara rasional.
Evaluasi
belajar. Pandangan
konstruktivistik mengemukakan bahwa lingkungan belajar sangat mendukung
munculnya berbagai pandangan dan interpretasi terhadap realitas, konstruksi
pengetahuan, serta aktivitas-aktivitas lain yang didasarkan pada pengalaman.
Hal ini memunculkan pemikiran terhadap usaha mengevaluasi belajar konstruktivistik.
Ada perbedaan penerapan evaluasi belajar antara pandangan behavioristik
(tradisional) yang obyektifis konstruktivistik. Pembelajaran yang diprogramkan
dan didesain banyak mengacu pada obyektifis, sedangkan Piagetian dan
tugas-tugas belajar discovery lebih mengarah pada konstruktivistik.
Obyektifis mengakui adanya reliabilitas pengetahuan, bahwa pengetahuan adalah
obyektif, pasti, dan tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan
rapi. Guru bertugas untuk menyampaikan pengetahuan tersebut. Realitas dunia dan
strukturnya dapat dianalisis dan diuraikan, dan pemahaman seseorang akan
dihasilkan oleh proses-proses eksternal dari struktur dunia nyata tersebut,
sehingga belajar merupakan asimilasi objek-objek nyata. Tujuan para perancang
dan guru-guru tradisional adalah menginterpretasikan kejadian-kejadian nyata
yang akan diberikan kepada para siswanya.
Pandangan konstruktivistik
mengemukakan bahwa realitas ada pada pikiran seseorang. Manusia mengkonstruksi
dan menginterpretasikannya berdasarkan pengalamannya. Konstruktivistik
mengarahkan perhatiannya pada bagaimana seseorang mengkonstruksi pengetahuan
dari pengalamannya, struktur mental, dan keyakinan yang digunakan untuk
menginterpretasikan objek dan peristiwa-peristiwa. Pandangan konstruktivistik
mengakui bahwa pikiran adalah instrumen penting dalam menginterpretasikan
kejadian, objek, dan pandangan terhadap dunia nyata, dimana interpretasi
tersebut terdiri dari pengetahuan dasar manusia secara individual.
Teori belajar konstruktivistik
mengakui bahwa siswa akan dapat menginterpretasikan informasi kedalam
pikirannya, hanya pada konteks pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri, pada
kebutuhan, latar belakang dan minatnya. Guru dapat membantu siswa
mengkonstruksi pemahaman representasi fungsi konseptual dunia eksternal. Jika
hasil belajar dikonstruksi secara individual, bagaimana mengevaluasinya?
Evaluasinya belajar pandangan
behavioristik tradisional lebih diarahkan pada tujuan belajar. Sedangkan
pandangan konstruktivistik menggunakan goal-free evaluation, yaitu suatu
konstruksi untuk mengatasi kelemahan evaluasi pada tujuan spesifik. Evaluasi
akan lebih obyektif jika evaluator tidak diberi informasi tentang tujuan
selanjutnya. Jika tujuan belajar diketahui sebelum proses belajar dimulai,
proses belajar dan evaluasinya akan berat sebelah. Pemberian kriteria pada
evaluasi mengakibatkan pengaturan pada pembelajaran. Tujuan belajar mengarahkan
pembelajaran yang juga akan mengontrol aktifitas belajar siswa.
Pembelajaran dan evaluasi yang
menggunakan kriteria merupakan prototipe obyektifis/behavioristik, yang tidak
sesuai bagi teori konstruktivistik. Hasil belajar konstruktivistik lebih cepat
dinilai dengan metode evaluasi goal-free. Evaluasi yang digunakan untuk
menilai hasil belajar konstruktivistik, memerlukan proses pengalaman kognitif
bagi tujuan-tujuan konstruktivistik.
Bentuk-bentuk evaluasi
konstruktivistik dapat diarahkan pada tugas-tugas autentik, mengkonstruksi
pengetahuan yang menggambarkan proses berfikir yang lebih tinggi seperti tingkat
“penemuan” pada taksonomi Merril, atau “strategi kognitif” dari Gagne, serta
“sintesis” pada taksonomi Bloom. Juga mengkonstruksi pengalaman siswa, dan
mengarahkan evaluasi pada konteks yang luas dengan berbagai perspektif.
4.
Perbandingan Pembelajaran Tradisional (Behavioristik) dan Pembelajaran
Konstruktivistik
Proses pembelajaran akan efektif
jika diketahui inti belajar yang sesungguhnya.Kegiatan pembelajaran yang selama
ini berlangsung, yang berpijak pada teori behavioristik, banyak didominasi oleh
guru. Guru menyampaikan materi pelajaran melalui ceramah, dengan harapan siswa
dapat memahaminya dan memberikan respon sesuai dengan materi yang diceramahkan.
Dalam pembelajaran, guru banyak menggantungkan pada buku teks. Materi yang
disampaikan sesuai dengan urutan isi buku teks. Diharapkan siswa memiliki
pandangan yang sama dengan guru, atau sama dengan buku teks tersebut.
Alternatif-alternatif perbedaan interpretasi diantara siswa terhadap fenomena
sosial yang kompleks tidak dipertimbangkan. Siswa belajar dalam isolasi, yang
mempelajari kemampuan tingkat rendah dengan cara melengkapi buku tugasnya
setiap hari.
Ketika menjawab pertanyaan siswa,
guru tidak mencari kemungkinan cara pandang siswa dalam menghadapi masalah,
melainkan melihat apakah siswa tidak memahami sesuatu yang dianggap benar oleh
guru. Pengajaran didasarkan pada gagasan atau konsep-konsep yang sudah dianggap
pasti atau baku, dan siswa harus memahaminya. Pengkonstruksian pengetahuan baru
oleh siswa tidak dihargai sebagai kemampuan penguasaan pengetahuan.
Berbeda dengan bentuk pembelajaran
diatas, pembelajaran konstruktivistik membantu siswa menginternalisasi dan
mentransformasi informasi baru. Transformasi terjadi dengan menghasilkan
pengetahuan baru yang selanjutnya akan membentuk struktur kognitif baru.
Pendekatan konstruktivistik lebih luas dan sukar untuk dipahami. Pandangan ini
tidak melihat pada apa yang dapat diungkapkan kembali atau apa yang dapat
diulang oleh siswa terhadap pelajaran yang telah diajarkan dengan cara menjawab
soal-soal tes (sebagai perilaku imitasi), melainkan pada apa yang dapat
dihasilkan siswa, didemonstrasikan, dan ditunjukkannya.
Secara rinci perbedaan karakteristik
antara pembelajaran tradisional atau behavioristik dan pembelajaran
konstruktivistik adalah sebagai berikut:
No.
|
Pembelajaran tradisional
|
Pembelajaran konstruktivistik
|
1.
|
Kurikulum
disajikan dari bagian-bagian menuju keseluruhan dengan menekankan pada
keterampilan-keterampilan dasar.
|
Kurikulum
disajikan mulai dari keseluruhan menuju ke bagian-bagian, dan lebih
mendekatkan pada konsep-konsep yang lebih luas.
|
2.
|
Pembelajaran
sangat taat pada kurikulum yang telah ditetapkan.
|
Pembelajaran
lebih menghargai pada pemunculan pertanyaan dan ide-ide siswa.
|
3.
|
Kegiatan
kurikuler lebih banyak mengandalkan pada buku teks dan buku kerja.
|
Kegiatan
kurikuler lebih banyak mengandalkan pada sumber-sumber data primer dan
manipulasi bahan.
|
4.
|
Siswa-siswa
dipandang sebagai “kertas kosong” yang dapat digoresi informasi oleh guru,
dan guru-guru pada umumnya menggunakan cara didaktik dalam menyampaikan
informasi kepada siswa
|
Siswa
dipandang sebagai pemikir-pemikir yang dapat memunculkan teori-teori tentang
dirinya.
|
5.
|
Penilaian
hasil belajar atau pengetahuan siswa dipandang sebagai bagian dari pembelajaran
dan biasanya dilakukan pada akhir pelajaran dengan cara testing.
|
Pengukuran
proses dan hasil belajar siswa terjalin di dalam kesatuan kegiatan
pembelajaran, dengan cara guru mengamati hal-hal yang sedang dilakukan siswa,
serta melalui tugas-tugas pekerjaan.
|
6.
|
Siswa-siswa
biasanya bekerja sendiri-sendiri, tanpa ada group proses dalam belajar
|
Siswa-siswa
banyak belajar dan bekerja di dalam group proses.
|
Karakteristik pembelajaran yang
harus dilakukan adalah:
1
Membebaskan siswa dari belenggu kurikulum yang berisi fakta-fakta lepas yang
sudah diterapkan, dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan
ide-idenya secara lebih luas.
2
Menempatkan siswa sebaagai kekuatan timbulnya interes, untuk membuat hubungan
di antara ide-ide atau gagasannya, kemudian memformulasikan kembali ide-ide
tersebut, serta membuat kesimpulan-kesimpulan.
3 Guru
bersama-sama siswa mengkaji pesan-pesan penting bahwa dunia adalah kompleks,
dimana terdapat macam-macam pandangan tentang kebenaran yang datangnya dari
berbagai interpretasi.
4 Guru
mengakui bahwa proses belajar serta penilaiannya merupakan suatu usaha yang
kompleks, sukar di pahami, tidak teratur, dan tidak mudah di kelola.
Kelebihan
-
Kelebihan dalam proses pembelajaran konstruktivistik siswa dituntut untuk bisa
berfikir aktif dalam belajar
-
Kelebihan konstruktivistik dalam pembelajaran bisa adanya group
-
Pembelajaran terjadi lebih kepada ide-ide dari siswa itu sendiri
Kekurangannya
-
Kekurangan apabila ada siswa yang pasif pembelajaran konstruktivistik ini tidak
cocok untuk siswa pasif
-
Siswa belajar secara konsep dasar tidak pada ketrampilan dari siswa itu sendiri
-
Dalam pembelajarannya tidak memusatkan pada kurikulum yang ada
Hakikat Pembelajaran Konstruktivisme
Pembentukan
pengetahuan menurut konstruktivistik memandang siswa yang aktif menciptakanstruktur-struktur kognitif dalam interaksinya
dengan lingkungan. Dengan bantuan struktur kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi
kognitif akan terjadi sejauhrealitas tersebut disusun melalui struktur
kognitif yang diciptakan oleh siswa itu sendiri. Struktur kognitif
senantiasa harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan
organismeyang sedang berubah. Proses
penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui prosesrekonstruksi.Yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah
bahwa dalam proses pembelajaran, siswayang harus aktif mengembangkan
pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau orang lain.Mereka yang harus
bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa secaraaktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas dan
keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa sehingga belajar lebih
diarahkan pada learning yaitu
merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalamankonkrit di laboratorium,
diskusi dengan teman sekelas, yang experimental kemudian dikontemplasikan dandijadikan ide dan pengembangan konsep baru.
Karenanya aksentuasi dari mendidik danmengajar tidak terfokus pada si
pendidik melainkan pada pebelajar.Beberapa hal yang mendapat perhatian
pembelajaran konstruktivistik, yaitu:(1) mengutamakan pembelajaran yang
bersifat nyata dalam kontek yang relevan.(2) mengutamakan proses,(3) menanamkan
pembelajran dalam konteks pengalaman social,(4) pembelajaran dilakukan dalam
upaya mengkonstruksi pengalamanIde-ide
konstruktivis modern banyak berlandaskan pada teori Vygotsky (Karpov &
Bransford,1995), yang telah digunakan
untuk menunjang metode pengajaran yang menekankan pada pembelajaran kooperatif, pembelajaran
betbasis kegiatan, dan penemuan. Empat prinsip kunciyang diturunkan dari teorinya telah memegang suatu
peran penting. Salah satu diantaranyaadalah
penekanannya pada hakekat sosial dari pembelajaran. Ia mengemukakan bahwa siswa belajar melalui interaksi dengan orang
dewasa dan teman sebaya yang lebih mampu. Pada proyek kooperatif,
siswa dihadapkan pada proses berfikir teman sebaya mereka: metode ini tidak hanya membuat hasil belajar terbuka untuk seluruh
siswa, tetapi juga membuat proses berfikir siswa lain terbuka untuk
seluruh siswa. Vygotsky memperhatikan bahwa pemecahan masalahyang
berhasil berbicara kepada diri mereka sendiri tentang langkah-Iangkah pemecahan
masalahyang sulit. Dalam kelompok kooperatif, siswa lain dapat mendengarkan
pembicaraan dalam hatiini yang diucapkan dengan keras oleh pemecah masalah dan
belajar bagaimana jalan pikiran atau pendekatan yang dipakai pemecah
masalah yang berhasil ini.
Aspek-Aspek
Pembelajaran Konstruktivistik
Fornot mengemukakan aspek-aspek konstruktivitik sebagai berikut: adaptasi (adaptation),konsep pada lingkungan ( the
concept of envieronmet
), dan pembentukan makna (theconstruction of meaning ). Dari ketiga aspek tersebut diadaptasi terhadap
lingkungan yangdilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan
akomodasi.v Asimilasi. Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang
mengintegrasikan persepsi,konsep ataupun
pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam
pikirannya.Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan
dan mengklasifikasikankejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada.
Proses asimilasi ini berjalan terus.Asimilasi tidak akan menyebabkan
perubahan/pergantian skemata melainkan perkembanganskemata. Asimilasi adalah salah satu proses
individu dalam mengadaptasikan danmengorganisasikan diri dengan
lingkungan baru perngertian orang itu berkembang.v Akomodasi. Dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang
tidak dapatmengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang
telah dipunyai. Pengalaman yang baru
itu bias jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam
keadaandemikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi terjadi untuk
membentuk skema baruyang cocok dengan
rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehinggacocok dengan rangsangan itu. Bagi Piaget adaptasi
merupakan suatu kesetimbangan antaraasimilasi dan akomodasi. Bila dalam
proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasiterhadap lingkungannya maka terjadilah
ketidaksetimbangan (disequilibrium). Akibatketidaksetimbangan itu maka tercapailah akomodasi dan struktur kognitif
yang ada yang akanmengalami atau munculnya struktur yang baru. Pertumbuhan intelektual
ini merupakan prosesterus menerus tentang keadaan ketidaksetimbangan dan
keadaan setimbang (disequilibrium-
equilibrium). Tetapi bila terjadi kesetimbangan maka individu akan berada
pada tingkat yanglebih tinggi
daripada sebelumnya.Tingkatan pengetahuan
atau pengetahuan berjenjang ini oleh Vygotskian disebutnyasebagai
scaffolding.
Scaffolding,
berarti membrikan kepada seorang individu sejumlah besar bantuan selama tahap-tahap
awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut danmemberikan kesempatan kepada anak tersebut
mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah mampu
mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan pembelajar dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan,
menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yangmemungkinkan siswa dapat
mandiri.Vigotsky mengemukakan tiga kategori
pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan permasalahan, yaitu(1)
siswa mencapai keberhasilan dengan baik,(2) siswa mencapai keberhasilan dengan
bantuan,(3) siswa gagal meraih keberhasilan.
Scaffolding,
berarti upaya pembelajar untuk membimbing siswa dalam upayanya
mencapaikeberhasilan. Dorongan guru sangat dibutuhkan agar pencapaian siswa ke
jenjang yang lebihtinggi
menjadi optimum.Konstruktivisme Vygotskian
memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi secara kolaboratif antar
individual dan keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh setiap individu. Proses
dalamkognisi diarahkan memalui adaptasi intelektual dalam konteks social
budaya. Proses penyesuaianitu equivalent dengan pengkonstruksian pengetahuan
secara intra individual yakni melalui prosesregulasi
diri internal. Dalam hubungan ini, para konstruktivis Vygotskian lebih
menekankan pada penerapan teknik saling tukar gagasan antar
individual.Terdapat dua prinsip penting yang diturunkan dari teori Vigotsky
adalah:1.mengenai fungsi dan pentingnya
bahasa dalam komunikasi social yang dimulai proses pencanderaan terhadap
tanda (sign) sampai kepada tukar menukar informasi dan pengetahuan,
2.
Zona of Proximal Development (ZPD) Pembelajar sebagai mediator
memiliki peranmendorong dan menjembatani siswa dalam upayanya membangun pengetahuan, pengertian dan kompetensi.Dalam interaksi sosial dikelas, ketika terjadi
saling tukar pendapat antar siswa dalammemecahkan
suatu masalah, siswa yang lebih pandai memberi bantuan kepada siswa yangmengalami kesulitan berupa petunjuk bagaimana cara
memecahkan masalah tersebut, makaterjadi scaffolding, siswa yang mengalami
kesulitan tersebut terbantu oleh teman yang lebih pandai. Ketika guru membantu secukupnya kepada siswa yang
mengalami kesulitan dalam belajarnya, maka terjadi scaffolding.Konsep ZPD Vigotsky berdasar pada ide bahwa
perkembangan pengetahuan siswa ditentukanoleh keduanya yaitu apa yang dapat
dilakukan oleh siswa sendiri dan apa yang dilakukan olehsiswa ketika mendapat
bantuan orang yang lebih dewasa atau teman sebaya yang berkompeten(Daniels
dan Wertsch dalam Slavin 2000: 47).
Pandangan
Konstruktivistik tentang belajar dan pembelajaran
Pengtahuan adalah non-objective, bersifat temporer, selalu berubah dan
tidak menentu. Belajar adalah
penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitaskolaboratif, dan refleksi serta interpretasi.
Mengajar adalah menata lingkungan agar si belajar termotivasi dalam
menggali makna seta menghargai ketidakmenentuan. Si belajar akan
memiliki pemahaman yag berbeda terhadap pengetahuan tergantung pada
pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya.
Mind berfungsi sebagai alat untuk menginterpretasi peristiwa, objek, atau perspektif yang ada dalam dunia nyata
sehingga makna yang dihasilkan bersifat unik dan individualistik.
Pandangan
Konstruktivistik tentang penataan Lingkungan Belajar
Ketidakteraturan, ketidakpastian, kesemrawutan, Si belajar harus bebas.
Kebebasan menjadiunsur yang esensial dalam lingkungna belajar. Kegagalan atau
keberhasilan, kemampuan atauketidakmampuan
dilihat sebagai interpretasi yang berbeda yang perlu dihargai
2.
Prinsip
Pengembangan Kurikulum
Kurikulum
tingkat satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah dikembangkan
oleh sekolah dan komite sekolah berpedoman pada standar kompetensi lulusan dan
standar isi serta panduan penyusunan
kurikulum yang dibuat oleh BSNP. Kurikulum dikembangkan berdasarkan
prinsip-prinsip berikut.
a. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan
kepentingan peserta didik dan lingkungannya
Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta
didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut
pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan,
kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan.
b.
Beragam dan terpadu
Kurikulum
dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik,
kondisi daerah, dan jenjang serta jenis pendidikan, tanpa membedakan agama,
suku, budaya dan adat istiadat, serta status sosial ekonomi dan gender.
Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan
pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan
kesinambungan yang bermakna dan tepat antarsubstansi.
c. Tanggap
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni
Kurikulum
dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
berkembang secara dinamis, dan oleh karena itu semangat dan isi kurikulum
mendorong peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan secara tepat
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
d.
Relevan dengan
kebutuhan kehidupan
Pengembangan kurikulum
dilakukan dengan melibatkan pemangku
kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan
kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena
itu, pengembangan keterampilan pribadi,
keterampilan berpikir,
keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional
merupakan keniscayaan.
e.
Menyeluruh
dan berkesinambungan
Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi
kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan
disajikan secara berkesinambungan antarsemua jenjang pendidikan.
f.
Belajar sepanjang hayat
Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan,
pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal,
nonformal dan informal, dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan
yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya.
g. Seimbang antara kepentingan nasional dan
kepentingan daerah
Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan
nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Kepentingan nasional dan kepentingan daerah harus
saling mengisi dan memberdayakan sejalan dengan motto Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Tujuan
IPS
Sama halnya tujuan dalam bidang-bidang yang lain, tujuan pembelajaran IPS bertumpu pada tujuan yang lebih tinggi. Secara hirarki, tujuan pendidikan nasional pada tataran operasional dijabarkan dalam tujuan institusional tiap jenis dan jenjang pendidikan. Selanjutnya pencapaian tujuan institusional ini secara praktis dijabarkan dalam tujuan kurikuler atau tujuan mata pelajaran
pada setiap bidang studi dalam kurikulum, termasuk bidang studi IPS.
Akhirnya tujuan kurikuler secara praktis operasional dijabarkan dalam tujuan instruksional atau tujuan pembelajaran.
Sub bahasan ini dibatasi pada uraian tujuan kurikuler bidang studi IPS.Tujuan kurikuler IPS yang harus dicapai sekurang-kurangnya meliputi hal-hal berikut:
• membekali peserta didik dengan pengetahuan sosial yang berguna dalam kehidupan masyarakat;
• membekali peserta didik dengan kemapuan mengidentifikasi, menganalisa dan menyusun alternatif pemecahan masalah sosial yang terjadi dalam kehidupan di masyarakat;
• membekali peserta didik dengan kemampuan berkomunikasi dengan
sesama warga masyarakat dan dengan berbagai bidang keilmuan serta
berbagai keahlian;
• membekali peserta didik dengan kesadaran, sikap mental yang positif, dan keterampilan terhadap lingkungan hidup yang menjadi bagian
kehidupannya yang tidak terpisahkan; dan
• membekali peserta didik dengan kemampuan mengembangkan
pengetahuan dan keilmuan IPS sesuai dengan perkembagan kehidupan,
perkembangan masyarakat, dan perkembangan ilmu dan teknologi.
Kelima tujuan di atas harus dicapai dalam pelaksanaan kurikulum IPS di
berbagai lembaga pendidikan dengan keluasan, kedalaman dan bobot yang sesuai dengan jenis dan jenjang pendidikan yang dilaksanakan.
Sama halnya tujuan dalam bidang-bidang yang lain, tujuan pembelajaran IPS bertumpu pada tujuan yang lebih tinggi. Secara hirarki, tujuan pendidikan nasional pada tataran operasional dijabarkan dalam tujuan institusional tiap jenis dan jenjang pendidikan. Selanjutnya pencapaian tujuan institusional ini secara praktis dijabarkan dalam tujuan kurikuler atau tujuan mata pelajaran
pada setiap bidang studi dalam kurikulum, termasuk bidang studi IPS.
Akhirnya tujuan kurikuler secara praktis operasional dijabarkan dalam tujuan instruksional atau tujuan pembelajaran.
Sub bahasan ini dibatasi pada uraian tujuan kurikuler bidang studi IPS.Tujuan kurikuler IPS yang harus dicapai sekurang-kurangnya meliputi hal-hal berikut:
• membekali peserta didik dengan pengetahuan sosial yang berguna dalam kehidupan masyarakat;
• membekali peserta didik dengan kemapuan mengidentifikasi, menganalisa dan menyusun alternatif pemecahan masalah sosial yang terjadi dalam kehidupan di masyarakat;
• membekali peserta didik dengan kemampuan berkomunikasi dengan
sesama warga masyarakat dan dengan berbagai bidang keilmuan serta
berbagai keahlian;
• membekali peserta didik dengan kesadaran, sikap mental yang positif, dan keterampilan terhadap lingkungan hidup yang menjadi bagian
kehidupannya yang tidak terpisahkan; dan
• membekali peserta didik dengan kemampuan mengembangkan
pengetahuan dan keilmuan IPS sesuai dengan perkembagan kehidupan,
perkembangan masyarakat, dan perkembangan ilmu dan teknologi.
Kelima tujuan di atas harus dicapai dalam pelaksanaan kurikulum IPS di
berbagai lembaga pendidikan dengan keluasan, kedalaman dan bobot yang sesuai dengan jenis dan jenjang pendidikan yang dilaksanakan.
Prinsip
Pembelajaran yang Mendidik
Tujuan utama
pembelajaran adalah mendidik peserta didik agar tumbuh kembang menjadi individu
yang bertanggung jawab dan dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya. Di dalam
Undang-Undana Nomor 20 Tahun 2003 (UU No.20/2003) tentang Sistem Pendidikan
Nasional disebutkan di dalam Pasal 1 ayat 1 bahwa ”Pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengem-bangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara.” Berdasarkan bunyi pasal 1 ayat 1 UU No. 20/2003 tersebut dapat
dikatakan bahwa pendidikan merupakan proses pembelajaran yg diarahkan ke
perkembangan peserta didik untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, angsa dan negara. Pencapaian tujuan pendidikan
tersebut hendaknya dilakukan secara sadar dan terencana, terutama dalam hal
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran yang memungkinkan peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi diri yang dimilikinya.
Peserta
didik hendaknya menjadi pusat pembelajaran, karena yang melakukan kegiatan
belajar adalah peserta didik, bukan guru. Hal esensial yang perlu diperhatikan
dalam proses pembelajaran berkenaan dengan pengertian belajar, khususnya
tentang perubahan tingkah laku dan pemodifikasian tingkah laku yang baru. Perlu
diketahui, menurut Teori Belajar Behaviorisme, tingkah laku baru merupakan
hasil pomodifikasian tingkah laku lama, sehingga tingkah laku lama berubah
menjadi tingkah laku yang lebih baik. Perubahan tingkah laku di sini bukanlah
perubahan tingkah laku yang terbatas melainkan perubahan tingkah laku secara
keseluruhan yang telah dimiliki oleh seseorang. Hal itu berarti perubahan. Tujuan
utama pembelajaran adalah mendidik peserta didik agar tumbuh kembang
menjadi individu yang bertanggung jawab dan dapat mempertanggung jawabkan
perbuatannya. Pencapaian tujuan pendidikan hendaknya dilakukan secara sadar dan
terencana tingkah laku itu menyangkut perubahan tingkah laku kognitif, tingkah
laku afektif, dan tingkah laku psikomotor.
Pada prinsipnya, dalam pembelajaran yang mendidik hendaknya berlangsung sebagai proses atau usaha yang dilakukan peserta didik untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil pengalaman individu beriteraksi dengan lingkungannya. Perubahan tingkah laku yang terjadi dalam diri individu banyak ragamnya baik sifatnya maupun jenisnya. Karena itu tidak semua perubahan dalam diri individu merupakan perubahan dalam arti belajar. Hasil belajar peserta didik dalam proses pembelajaran yang mendidik berupa perubahan tingkah laku yang disadari, kontinu, fungsional, positif, tetap, bertujuan, dan komprehensif.
Rancangan penerapan pembelajaran yang mendidik yang disusun sesuai dengan prinsip dan langkah perencanaan pembelajaran yang tepat hendaknya dapat menghasilkan perubahan dalam diri peserta didik. Beberapa ciri perubahan dalam diri peserta didik yang perlu diperhati- kan guru antara lain:
a. Perubahan tingkah laku harus disadari peserta didik.
Setiap individu yang belajar akan menyadari terjadinya perubahan tingkah laku atau sekurang-kurangnya merasakan telah terjadi perubahan dalam dirinya.
b. Perubahan tingkah laku dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional.
Perubahan yang terjadi dalam diri individu berlangsung terus menerus dan tidak statis
c. Perubahan tingkah laku dalam belajar bersifat positif dan aktif.
Dalam perbuatan belajar, perubahan-perubahan senantiasa bertambah dan tertuju pada pemerolehan yang lebih baik dari sebelumnya. Dengan demikian makin banyak usaha belajar dilakukan makin banyak dan makin baik perubahan yang diperoleh. Perubahan yang bersifat aktif artinya perubahan itu tidak terjadi dengan sendirinya melainkan karena usaha individu sendiri.
d. Perubahan tingkah laku dalam belajar tidak bersifat sementara.
Perubahan yang bersifat sementara atau temporer terjadi hanya untuk beberapa saat saja,tidak dapat dikategorikan sebagai perubahan dalam arti belajar. Perubahan yang terjadi karena proses belajar bersifat menetap atau permanen. Itu berarti bahwa tingkah laku yang terjadi setelah belajar akan bersifat menetap.
e. Perubahan tingkah laku dalam belajar bertujuan.
Perubahan tingkah laku itu terjadi karena ada tujuan yang akan dicapai. Perbuatan belajar terarah kepada perubahan tingkah laku yang benar-benar disadari.
f. Perubahan tingkah laku mencakup seluruh aspek tingkah laku.
Perubahan yang diperoleh individu setelah melalui suatu proses belajar meliputi perubahan keseluruhan tingkah laku. Jika individu belajar sesuatu, sebagai hasilnya mengalami perubahan tingkah laku secara menyeluruh dalam sikap, keterampilan, pengetahuan dan sebagainya. Jadi aspek perubahan tingkah laku berhubungan erat dengan aspek lainnya.
Pemerolehan keterampilan dan ilmu pengetahuan sebagai tujuan pembelajaran yang mendidik. Pada umumnya belajar seringkali diartikan sebagai perolehan keterampilan dan ilmu pengeta- huan. Pengetahuan mutakhir proses belajar diperoleh dari kajian pengolahan informasi, neuro- fisiologi, neuropsikologi dan sain kognitif. Forrest W. Parkay dan Beverly Hardeastle Stanford (1992) menyebut belajar sebagai kegiatan pemrosesan informasi, membuat penalaran, mengembangkan pemahaman dan meningkatkan penguasaan keterampilan dalam proses pem- belajaran. Pembelajaran, diartikan sebagai upaya membuat individu belajar, yang dirumuskan Robert W. Gagne (1977) sebagai pengaturan peristiwa yang ada di luar diri seseorang peserta didik, dan dirancang serta dimanfaatkan untuk memudahkan proses belajar. Pengaturan situasi pembelajaran sebelum pelaksanaan pembelajaran biasanya disebut management of learning and conditions of learning.
Pada prinsipnya, dalam pembelajaran yang mendidik hendaknya berlangsung sebagai proses atau usaha yang dilakukan peserta didik untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil pengalaman individu beriteraksi dengan lingkungannya. Perubahan tingkah laku yang terjadi dalam diri individu banyak ragamnya baik sifatnya maupun jenisnya. Karena itu tidak semua perubahan dalam diri individu merupakan perubahan dalam arti belajar. Hasil belajar peserta didik dalam proses pembelajaran yang mendidik berupa perubahan tingkah laku yang disadari, kontinu, fungsional, positif, tetap, bertujuan, dan komprehensif.
Rancangan penerapan pembelajaran yang mendidik yang disusun sesuai dengan prinsip dan langkah perencanaan pembelajaran yang tepat hendaknya dapat menghasilkan perubahan dalam diri peserta didik. Beberapa ciri perubahan dalam diri peserta didik yang perlu diperhati- kan guru antara lain:
a. Perubahan tingkah laku harus disadari peserta didik.
Setiap individu yang belajar akan menyadari terjadinya perubahan tingkah laku atau sekurang-kurangnya merasakan telah terjadi perubahan dalam dirinya.
b. Perubahan tingkah laku dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional.
Perubahan yang terjadi dalam diri individu berlangsung terus menerus dan tidak statis
c. Perubahan tingkah laku dalam belajar bersifat positif dan aktif.
Dalam perbuatan belajar, perubahan-perubahan senantiasa bertambah dan tertuju pada pemerolehan yang lebih baik dari sebelumnya. Dengan demikian makin banyak usaha belajar dilakukan makin banyak dan makin baik perubahan yang diperoleh. Perubahan yang bersifat aktif artinya perubahan itu tidak terjadi dengan sendirinya melainkan karena usaha individu sendiri.
d. Perubahan tingkah laku dalam belajar tidak bersifat sementara.
Perubahan yang bersifat sementara atau temporer terjadi hanya untuk beberapa saat saja,tidak dapat dikategorikan sebagai perubahan dalam arti belajar. Perubahan yang terjadi karena proses belajar bersifat menetap atau permanen. Itu berarti bahwa tingkah laku yang terjadi setelah belajar akan bersifat menetap.
e. Perubahan tingkah laku dalam belajar bertujuan.
Perubahan tingkah laku itu terjadi karena ada tujuan yang akan dicapai. Perbuatan belajar terarah kepada perubahan tingkah laku yang benar-benar disadari.
f. Perubahan tingkah laku mencakup seluruh aspek tingkah laku.
Perubahan yang diperoleh individu setelah melalui suatu proses belajar meliputi perubahan keseluruhan tingkah laku. Jika individu belajar sesuatu, sebagai hasilnya mengalami perubahan tingkah laku secara menyeluruh dalam sikap, keterampilan, pengetahuan dan sebagainya. Jadi aspek perubahan tingkah laku berhubungan erat dengan aspek lainnya.
Pemerolehan keterampilan dan ilmu pengetahuan sebagai tujuan pembelajaran yang mendidik. Pada umumnya belajar seringkali diartikan sebagai perolehan keterampilan dan ilmu pengeta- huan. Pengetahuan mutakhir proses belajar diperoleh dari kajian pengolahan informasi, neuro- fisiologi, neuropsikologi dan sain kognitif. Forrest W. Parkay dan Beverly Hardeastle Stanford (1992) menyebut belajar sebagai kegiatan pemrosesan informasi, membuat penalaran, mengembangkan pemahaman dan meningkatkan penguasaan keterampilan dalam proses pem- belajaran. Pembelajaran, diartikan sebagai upaya membuat individu belajar, yang dirumuskan Robert W. Gagne (1977) sebagai pengaturan peristiwa yang ada di luar diri seseorang peserta didik, dan dirancang serta dimanfaatkan untuk memudahkan proses belajar. Pengaturan situasi pembelajaran sebelum pelaksanaan pembelajaran biasanya disebut management of learning and conditions of learning.
Tujuan pendidikan dibagi ke dalam
tiga domain, yaitu:
- Cognitive Domain (Ranah Kognitif), yang berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir.
- Affective Domain (Ranah Afektif) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri.
- Psychomotor Domain (Ranah Psikomotor) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek keterampilan motorik seperti tulisan tangan, mengetik, berenang, dan mengoperasikan mesin.
Dalam mengembangkan indikator perlu
mempertimbangkan:
- Kuntutan kompetensi yang dapat dilihat melalui kata kerja yang digunakan dalam Kompetensi Dasar;
- Karakteristik mata pelajaran, peserta didik, dan sekolah;
- Potensi dan kebutuhan peserta didik, masyarakat, dan lingkungan/ daerah.
Daftar kata kerja operasional dengan
tiga ranah yang biasa dipergunakan untuk menyusun indikator.
A. Ranah
Kognitif
Indikator kognitif proses merupakan perilaku (behavior) siswa yang diharapkan muncul setelah melakukan serangkaian kegiatan untuk mencapai kompetensi yang diharapkan. Perilaku ini sejalan dengan keterampilan proses sains, tetapi yang karakteristiknya untuk mengembangkan kemampuan berfikir siswa. Indikator kognitif produk berkaitan dengan perilaku siswa yang diharapkan tumbuh untuk mencapai kompetensi yang telah ditetapkan. Indikator kognitif produk disusun dengan menggunakan kata kerja operasional (terlampir) aspek kognitif. Obyek dari indicator adalah produk IPA misalnya konsep, hukum, kaidah dll.
Indikator kognitif proses merupakan perilaku (behavior) siswa yang diharapkan muncul setelah melakukan serangkaian kegiatan untuk mencapai kompetensi yang diharapkan. Perilaku ini sejalan dengan keterampilan proses sains, tetapi yang karakteristiknya untuk mengembangkan kemampuan berfikir siswa. Indikator kognitif produk berkaitan dengan perilaku siswa yang diharapkan tumbuh untuk mencapai kompetensi yang telah ditetapkan. Indikator kognitif produk disusun dengan menggunakan kata kerja operasional (terlampir) aspek kognitif. Obyek dari indicator adalah produk IPA misalnya konsep, hukum, kaidah dll.
- Pengetahuan (C1) : Mengutip, Menyebutkan, Menjelaskan, Menggambar, Membilang, Mengidentifikasi, Mendaftar, Menunjukkan, Memberi label, Memberi indeks, Memasangkan, Menamai, Menandai, Membaca, Menyadari, Menghafal, Meniru, Mencatat, Mengulang, Mereproduksi, Meninjau, Memilih, Menyatakan, Mempelajari, Mentabulasi, Memberi kode, Menelusuri, Menulis
- Pemahaman (C2) : Memperkirakan, Menjelaskan, Mengkategorikan, Mencirikan, Merinci, Mengasosiasikan, Membandingkan, Menghitung, Mengkontraskan, Mengubah, Mempertahankan, Menguraikan, Menjalin, Membedakan, Mendiskusikan, Menggali, Mencontohkan, Menerangkan, Mengemukakan, Mempolakan, Memperluas, Menyimpulkan, Meramalkan, Merangkum, Menjabarkan
- Penerapan (C3) : Menugaskan, Mengurutkan, Menerapkan, Menyesuaikan, Mengkalkulasi, Memodifikasi, Mengklasifikasi, Menghitung, Membangun , Membiasakan, Mencegah, Menentukan, Menggambarkan, Menggunakan, Menilai, Melatih, Menggali, Mengemukakan, Mengadaptasi, Menyelidiki, Mengoperasikan, Mempersoalkan, Mengkonsepkan, Melaksanakan, Meramalkan, Memproduksi, Memproses, Mengaitkan, Menyusun, Mensimulasikan, Memecahkan, Melakukan, Mentabulasi, Memproses, Meramalkan
- Analisis (C4) : Menganalisis, Mengaudit, Memecahkan, Menegaskan, Mendeteksi, Mendiagnosis, Menyeleksi, Merinci, Menominasikan, Mendiagramkan, Megkorelasikan, Merasionalkan, Menguji, Mencerahkan, Menjelajah, Membagankan, Menyimpulkan, Menemukan, Menelaah, Memaksimalkan, Memerintahkan, Mengedit, Mengaitkan, Memilih, Mengukur, Melatih, Mentransfer
- Sintesis (C5) : Mengabstraksi, Mengatur, Menganimasi, Mengumpulkan, Mengkategorikan, Mengkode, Mengombinasikan, Menyusun, Mengarang, Membangun, Menanggulangi, Menghubungkan, Menciptakan, Mengkreasikan, Mengoreksi, Merancang, Merencanakan, Mendikte, Meningkatkan, Memperjelas, Memfasilitasi, Membentuk, Merumuskan, Menggeneralisasi, Menggabungkan, Memadukan, Membatas, Mereparasi, Menampilkan, Menyiapkan Memproduksi, Merangkum, Merekonstruksi
- Penerapan (C6) : Membandingkan, Menyimpulkan, Menilai, Mengarahkan, Mengkritik, Menimbang, Memutuskan, Memisahkan, Memprediksi, Memperjelas, Menugaskan, Menafsirkan, Mempertahankan, Memerinci, Mengukur, Merangkum, Membuktikan, Memvalidasi, Mengetes, Mendukung, Memilih, Memproyeksikan
B. Ranah
Afektif
Indikator afektif merupakan sikap yang diharapkan saat dan setelah siswa melakukan serangkaian kegiatan pembelajaran. Dalam pembelajaran IPA, indicator afektif berkaitan dengan salah satu hakekat IPA yaitu sikap ilmiah. Oleh karena itu, indicator afektif disusun dengan menggunakan kata kerja operasional dengan objek sikap ilmiah. Beberapa contoh sikap ilmiah adalah: berlaku jujur, peduli, tanggungjawab dll. Selain itu, indicator Afektif juga perlu memunculkan keterampilan social misalnya: bertanya, menyumbang ide atau berpendapat, menjadi pendengar yang baik, berkomunikasi dll.
Indikator afektif merupakan sikap yang diharapkan saat dan setelah siswa melakukan serangkaian kegiatan pembelajaran. Dalam pembelajaran IPA, indicator afektif berkaitan dengan salah satu hakekat IPA yaitu sikap ilmiah. Oleh karena itu, indicator afektif disusun dengan menggunakan kata kerja operasional dengan objek sikap ilmiah. Beberapa contoh sikap ilmiah adalah: berlaku jujur, peduli, tanggungjawab dll. Selain itu, indicator Afektif juga perlu memunculkan keterampilan social misalnya: bertanya, menyumbang ide atau berpendapat, menjadi pendengar yang baik, berkomunikasi dll.
- Menerima : Memilih, Mempertanyakan, Mengikuti, Memberi, Menganut, Mematuhi, Meminati
- Menanggapi : Menjawab, Membantu, Mengajukan, Mengompromika, Menyenangi, Menyambut, Mendukung, Menyetujui, Menampilkan, Melaporkan, Memilih, Mengatakan, Memilah, Menolak
- Menilai : Mengasumsikan, Meyakini, Melengkapi, Meyakinkan, Memperjelas, Memprakarsai, Mengimani, Mengundang, Menggabungkan, Mengusulkan, Menekankan, Menyumbang
- Mengelola : Menganut, Mengubah, Menata, Mengklasifikasikan, Mengombinasikan, Mempertahankan, Membangun, Membentuk pendapat, Memadukan, Mengelola, Menegosiasi, Merembuk
- Menghayati : Mengubah perilaku, Berakhlak mulia, Mempengaruhi, Mendengarkan, Mengkualifikasi, Melayani, Menunjukkan, Membuktikan, Memecahkan
C. Ranah
Psikomotor
Indikator psikomotorik merupakan perilaku (behavior) siswa yang diharapkan tampak setelah siswa mengikuti pembelajaran untuk mencapai kompetensi yang telah ditetapkan. Selama proses pembelajaran IPA, diperlukan kegiatan yang berkaitan dengan percobaan, penemuan atau pembuktian konsep. Kegiatan ini melibatkan aktivitas fisik, misalnya merangkai, mengukur, membuat, dll.
Indikator psikomotorik merupakan perilaku (behavior) siswa yang diharapkan tampak setelah siswa mengikuti pembelajaran untuk mencapai kompetensi yang telah ditetapkan. Selama proses pembelajaran IPA, diperlukan kegiatan yang berkaitan dengan percobaan, penemuan atau pembuktian konsep. Kegiatan ini melibatkan aktivitas fisik, misalnya merangkai, mengukur, membuat, dll.
- Menirukan (P1): Mengaktifkan, Menyesuaikan, Menggabungkan, Melamar, Mengatur, Mengumpulkan, Menimbang, Memperkecil, Membangun, Mengubah, Membersihkan, Memposisikan, Mengonstruksi
- Memanipulasi (P2): Mengoreksi, Mendemonstrasikan, Merancang, Memilah, Melatih, Memperbaiki, Mengidentifikasikan, Mengisi, Menempatkan, Membuat, Memanipulasi, Mereparasi, Mencampur
- Pengalamiahan (P3): Mengalihkan, Menggantikan, Memutar, Mengirim, Memindahkan, Mendorong, Menarik, Memproduksi, Mencampur, Mengoperasikan, Mengemas, Membungkus
- Artikulasi (P4): Mengalihkan, Mempertajam, Membentuk, Memadankan, Menggunakan, Memulai, Menyetir, Menjeniskan, Menempel, Menseketsa, Melonggarkan, Menimbang
Pendekatan, Strategi, Metode, Teknik, dan Model Pembelajaran
Dalam
proses pembelajaran dikenal beberapa istilah yang memiliki kemiripan makna,
sehingga seringkali orang merasa bingung untuk membedakannya. Istilah-istilah
tersebut adalah: (1) pendekatan pembelajaran, (2) strategi pembelajaran, (3)
metode pembelajaran; (4) teknik pembelajaran; (5) taktik pembelajaran; dan (6)
model pembelajaran. Berikut ini akan dipaparkan istilah-istilah tersebut,
dengan harapan dapat memberikan kejelasaan tentang penggunaan istilah tersebut.
Pendekatan
pembelajaran
dapat diartikan sebagai
titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk
pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum,
di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode
pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu. Dilihat dari pendekatannya,
pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan, yaitu: (1) pendekatan pembelajaran
yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered approach) dan (2) pendekatan pembelajaran yang berorientasi
atau berpusat pada guru (teacher
centered approach).
Dari pendekatan pembelajaran yang telah ditetapkan
selanjutnya diturunkan ke dalam strategi pembelajaran. Newman dan Logan (Abin
Syamsuddin Makmun, 2003) mengemukakan empat unsur strategi dari setiap usaha,
yaitu:
- Mengidentifikasi dan menetapkan spesifikasi dan kualifikasi hasil (out put) dan sasaran (target) yang harus dicapai, dengan mempertimbangkan aspirasi dan selera masyarakat yang memerlukannya.
- Mempertimbangkan dan memilih jalan pendekatan utama (basic way) yang paling efektif untuk mencapai sasaran.
- Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah (steps) yang akan dtempuh sejak titik awal sampai dengan sasaran.
- Mempertimbangkan dan menetapkan tolok ukur (criteria) dan patokan ukuran (standard) untuk mengukur dan menilai taraf keberhasilan (achievement) usaha.
Jika kita terapkan dalam konteks pembelajaran, keempat
unsur tersebut adalah:
- Menetapkan spesifikasi dan kualifikasi tujuan pembelajaran yakni perubahan profil perilaku dan pribadi peserta didik.
- Mempertimbangkan dan memilih sistem pendekatan pembelajaran yang dipandang paling efektif.
- Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah atau prosedur, metode dan teknik pembelajaran.
- Menetapkan norma-norma dan batas minimum ukuran keberhasilan atau kriteria dan ukuran baku keberhasilan.
Sementara itu, Kemp (Wina Senjaya, 2008) mengemukakan
bahwa strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran
yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai
secara efektif dan efisien. Selanjutnya, dengan mengutip pemikiran J. R David,
Wina Senjaya (2008) menyebutkan bahwa dalam strategi pembelajaran terkandung
makna perencanaan. Artinya, bahwa strategi pada dasarnya masih bersifat
konseptual tentang keputusan-keputusan yang akan diambil dalam suatu
pelaksanaan pembelajaran. Dilihat dari strateginya, pembelajaran dapat
dikelompokkan ke dalam dua bagian pula, yaitu: (1) exposition-discovery
learning dan (2) group-individual learning (Rowntree
dalam Wina Senjaya, 2008). Ditinjau dari cara penyajian dan cara pengolahannya,
strategi pembelajaran dapat dibedakan antara strategi pembelajaran induktif dan
strategi pembelajaran deduktif.
Strategi pembelajaran sifatnya masih konseptual dan
untuk mengimplementasikannya digunakan berbagai metode pembelajaran tertentu.
Dengan kata lain, strategi merupakan “a plan of operation achieving something” sedangkan metode adalah “a way in achieving something” (Wina Senjaya (2008). Jadi, metode
pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang digunakan untuk
mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan
praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran. Terdapat beberapa metode
pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan strategi
pembelajaran, diantaranya: (1) ceramah; (2) demonstrasi; (3) diskusi; (4)
simulasi; (5) laboratorium; (6) pengalaman lapangan; (7) brainstorming; (8)
debat, (9) simposium, dan sebagainya.
Selanjutnya metode pembelajaran dijabarkan ke dalam
teknik dan gaya pembelajaran. Dengan demikian, teknik pembelajaran dapat diatikan sebagai cara yang dilakukan seseorang
dalam mengimplementasikan suatu metode secara spesifik. Misalkan, penggunaan
metode ceramah pada kelas dengan jumlah siswa yang relatif banyak membutuhkan
teknik tersendiri, yang tentunya secara teknis akan berbeda dengan penggunaan
metode ceramah pada kelas yang jumlah siswanya terbatas. Demikian pula, dengan
penggunaan metode diskusi, perlu digunakan teknik yang berbeda pada kelas yang
siswanya tergolong aktif dengan kelas yang siswanya tergolong pasif. Dalam hal
ini, guru pun dapat berganti-ganti teknik meskipun dalam koridor metode yang
sama.
Sementara taktik pembelajaranmerupakan
gaya seseorang dalam melaksanakan metode atau teknik pembelajaran tertentu yang
sifatnya individual. Misalkan, terdapat dua orang sama-sama menggunakan metode
ceramah, tetapi mungkin akan sangat berbeda dalam taktik yang digunakannya.
Dalam penyajiannya, yang satu cenderung banyak diselingi dengan humor karena
memang dia memiliki sense of humor yang tinggi, sementara yang satunya lagi
kurang memiliki sense of humor, tetapi lebih banyak menggunakan alat bantu
elektronik karena dia memang sangat menguasai bidang itu. Dalam gaya
pembelajaran akan tampak keunikan atau kekhasan dari masing-masing guru, sesuai
dengan kemampuan, pengalaman dan tipe kepribadian dari guru yang bersangkutan.
Dalam taktik ini, pembelajaran akan menjadi sebuah ilmu sekalkigus juga seni
(kiat)
Apabila antara pendekatan, strategi, metode, teknik
dan bahkan taktik pembelajaran sudah terangkai menjadi satu kesatuan yang utuh
maka terbentuklah apa yang disebut dengan model pembelajaran.
Jadi, model pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang
tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru. Dengan
kata lain, model pembelajaran merupakan bungkus atau bingkai dari penerapan
suatu pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran.
Berkenaan dengan model pembelajaran, Bruce Joyce dan
Marsha Weil (Dedi Supriawan dan A. Benyamin Surasega, 1990) mengetengahkan 4
(empat) kelompok model pembelajaran, yaitu: (1) model interaksi sosial; (2)
model pengolahan informasi; (3) model personal-humanistik; dan (4) model
modifikasi tingkah laku. Kendati demikian, seringkali penggunaan istilah model
pembelajaran tersebut diidentikkan dengan strategi pembelajaran.
Untuk lebih jelasnya, posisi hierarkis dari
masing-masing istilah tersebut, kiranya dapat divisualisasikan sebagai berikut:
Di luar istilah-istilah tersebut, dalam proses
pembelajaran dikenal juga istilah desain pembelajaran. Jika
strategi pembelajaran lebih berkenaan dengan pola umum dan prosedur umum
aktivitas pembelajaran, sedangkan desain pembelajaran lebih menunjuk kepada
cara-cara merencanakan suatu sistem lingkungan belajar tertentu setelah
ditetapkan strategi pembelajaran tertentu. Jika dianalogikan dengan pembuatan
rumah, strategi membicarakan tentang berbagai kemungkinan tipe atau jenis rumah
yang hendak dibangun (rumah joglo, rumah gadang, rumah modern, dan sebagainya),
masing-masing akan menampilkan kesan dan pesan yang berbeda dan unik. Sedangkan
desain adalah menetapkan cetak biru (blue print) rumah yang akan dibangun
beserta bahan-bahan yang diperlukan dan urutan-urutan langkah konstruksinya,
maupun kriteria penyelesaiannya, mulai dari tahap awal sampai dengan tahap
akhir, setelah ditetapkan tipe rumah yang akan dibangun.
Berdasarkan uraian di atas, bahwa untuk dapat
melaksanakan tugasnya secara profesional, seorang guru dituntut dapat memahami
dan memliki keterampilan yang memadai dalam mengembangkan berbagai model
pembelajaran yang efektif, kreatif dan menyenangkan, sebagaimana diisyaratkan
dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
Mencermati upaya reformasi pembelajaran yang sedang
dikembangkan di Indonesia, para guru atau calon guru saat ini banyak ditawari
dengan aneka pilihan model pembelajaran, yang kadang-kadang untuk kepentingan
penelitian (penelitian akademik maupun penelitian tindakan) sangat sulit
menermukan sumber-sumber literarturnya. Namun, jika para guru (calon guru)
telah dapat memahami konsep atau teori dasar pembelajaran yang merujuk pada
proses (beserta konsep dan teori) pembelajaran sebagaimana dikemukakan di atas,
maka pada dasarnya guru pun dapat secara kreatif mencobakan dan mengembangkan
model pembelajaran tersendiri yang khas, sesuai dengan kondisi nyata di tempat
kerja masing-masing, sehingga pada gilirannya akan muncul model-model
pembelajaran versi guru yang bersangkutan, yang tentunya semakin memperkaya
khazanah model pembelajaran yang telah ada.
Beda
Strategi, Model, Pendekatan, Metode, dan Teknik Pembelajaran
Pendekatan pembelajaran menurut Syaiful (2003:68) adalah sebagai aktifitas
guru dalam memilih kegiatan pembelajaran. Pendekatan pembelajaran sebagai
penjelas dan juga mempermudah bagi para guru memberikan pelayanan belajar dan juga
mempermudah siswa untuk memahami materi ajar yang disampaikan guru, dengan
memelihara suasana pembelajaran yang menyenangkan.
Pendekatan kontekstual dapat membuat variasi dalam pembelajaran dan hasil
belajar yang diharapkan dapat dicapai. Pendekatan pembelajaran tentu tidak kaku
harus menggunakan pendekatan tertentu, artinya memilih pendekatan disesuaikan
dengan kebutuhan materi ajar yang dituangkan dalam perencanaan pembelajaran.
Pendekatan pembelajaran yang sering dipakai oleh para guru antara lain: pendekatan
konsep dan proses, pendekatan deduktif dan induktif pendekatan ekspositori dan
heuristik, pendekatan kecerdasan dan pendekatan konstektual.
Landasan filosofi pendekatan kontekstual adalah kontruktivisme, yaitu
filisofi belajar yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal
tetapi mengkonstruksikan atau membangun pengetahuan dan keterampilan baru lewat
fakta-fakta atau proposisi yang mereka alami dalam kehidupannya (Masnur
2007:41). Tiap orang harus mengkontruksi pengetahuan sendiri. Pengetahuan bukan
sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang berkembang terus menerus.
Dalam proses itu keaktifan seseorang yang ingin tahu amat berperan dalam
perkembangan pengetahuannya. Pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja
dari seseorang kepada yang lain, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh
masing-masing orang ( Paul S 1996:29 ).
Depdiknas (2002:5) menyatakan pembelajaran kontekstual (Contextual
Teaching and Learning) sebagai konsep belajar yang membantu guru mengaitkan
antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong
siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya
dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen, yakni:
(1) kontruktivisme (Constuctivism), (2) bertanya (Questioning),
(3) menemukan (Inquiri), (4) masyarakat belajar (Learning Community),
(5) permodelan (Modeling), (6) Refleksi (Reflection),
(7) penilaian sebenarnya (Authentic Assessment).
Jonhson (2007:67) menyatakan bahwa pendekatan pembelajaran konstekstual
atau CTL (Contextual Teaching and Learning) adalah sebuah proses
pendidikan yang menolong para siswa melihat makna dalam materi akademik dengan
konteks dalam kehidupan seharian mereka, yaitu konteks keadaan pribadi, social,
dan budaya mereka. Untuk mencapai tujuan ini sistem tersebut meliputi delapan
komponen berikut: (1) membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna, (2)
melakukan pekerjaan yang berarti, (3) melakukan pekerjaan yang diatur sendiri,
(4) melakukan kerja sama, (5) berfikir kritis dan kreatif, (6) membantu
individu untuk tumbuh dan berkembang, (7) mencapai standar yang tinggi, (8)
menggunakan penilaian autentik.
Pendekatan kontektual atau Contextual Teching and Learning, Wina
(2005:109) menjelaskan, suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan kepada
proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang
dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga
mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.Terdapat lima
karakteristik penting dalam proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan
kontekstual yaitu :
(a) Dalam pendekatan kontekstual pembelajaran merupakan proses pengaktifan
pengetahuan yang sudah ada (activiting knowledge).
(b) Pembelajaran yang kontekstual adalah belajar dalam rangka memperoleh
dan menambah pengetahuan baru (acquiring knowlwdge).
(c) Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), artinya
pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal tapi untuk diyakini dan
dipahami.
(d) Mempraktekkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying
knowledge), artinya pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh harus dapat
diaplikasikan dalam kehidupan siswa, sehingga tampak perubahan prilaku siswa.
(e) Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi
pengembangan pengetahuan.
Setiap bagian pendekatan kontekstual atau CTL yang berbeda ini akan
memberikan sumbangan dalam menolong siswa memahami tugas sekolah. Secara
bersama-sama mereka membentuk suatu sistem yang memungkinkan para siswa melihat
makna di dalamnya, dan mengingat materi akademik.
Wina (2005:125) menjelaskan beberapa hal penting dalam pembelajaran melalui
pendekatan kontekstual atau CTL sebagai berikut:
(a) CTL adalah model pembelajaran yang menekankan pada aktivitas siswa secara
penuh, baik fisik maupun mental.
(b) CTL memandang bahwa belajar bukan menghafal akan tetapi porses pengalaman
dalam kehidupan nyata.
(c) Kelas dalam pembelajaran CTL, bukan sebagai tempat memperoleh informasi,
akan tetapi sebagi tempat untuk menguji data hasil temuan mereka dilapangan.
(d) Materi pelajaran ditemukan oleh siswa sendiri bukan hasil pemberian orang
lain.
Pengertian Media Pembelajaran
Pengertian Media Pembelajaran
Media pembelajaran secara umum adalah alat bantu proses belajar mengajar. Segala sesuatu yang dapat dipergunakan untuk
merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemampuan atau ketrampilan
pebelajar sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar. Batasan ini
cukup luas dan mendalam mencakup pengertian sumber, lingkungan, manusia dan metode yang
dimanfaatkan untuk tujuan pembelajaran / pelatihan.
Sedangkan menurut Briggs (1977) media
pembelajaran adalah sarana fisik untuk menyampaikan isi/materi
pembelajaran seperti : buku, film, video dan sebagainya. Kemudian menurut National
Education Associaton(1969) mengungkapkan bahwa media pembelajaran adalah sarana komunikasi dalam bentuk cetak
maupun pandang-dengar, termasuk teknologi perangkat keras.
Posisi media pembelajaran. Oleh karena proses pembelajaran merupakan
proses komunikasi dan berlangsung dalam suatu sistem, maka media
pembelajaran menempati posisi yang cukup penting sebagai salah satu
komponen sistem pembelajaran. Tanpa media, komunikasi tidak akan terjadi
dan proses pembelajaran sebagai proses komunikasi juga tidak akan bisa
berlangsung secara optimal. Media pembelajaran adalah komponen integral
dari sistem pembelajaran
Dari pendapat di atas disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat menyalurkan
pesan, dapat merangsang fikiran, perasaan, dan kemauan peserta didik sehingga
dapat mendorong terciptanya proses belajar pada diri peserta didik.
Menurut Edgar Dale, dalam dunia pendidikan, penggunaan media pembelajaran
seringkali menggunakan prinsip Kerucut Pengalaman, yang membutuhkan media
seperti buku teks, bahan belajar yang dibuat oleh guru dan “audio-visual”.
Ada beberapa jenis media pembelajaran, diantaranya :
- Media Visual : grafik, diagram, chart, bagan, poster, kartun, komik
- Media Audial : radio, tape recorder, laboratorium bahasa, dan sejenisnya
- Projected still media : slide; over head projektor (OHP), in focus dan sejenisnya
- Projected motion media : film, televisi, video (VCD, DVD, VTR), komputer dan sejenisnya.
Pada hakikatnya bukan media pembelajaran
itu sendiri yang menentukan hasil
belajar. Ternyata
keberhasilan menggunakan media pembelajaran dalam proses pembelajaran untuk meningkatkan hasil belajar tergantung pada (1) isi pesan, (2)
cara menjelaskan pesan, dan (3) karakteristik penerima pesan. Dengan demikian
dalam memilih dan menggunakan media, perlu diperhatikan ketiga faktor
tersebut. Apabila ketiga faktor tersebut mampu disampaikan dalam media
pembelajaran tentunya akan memberikan hasil yang maksimal.
Tujuan menggunakan media pembelajaran :
-
mempermudah proses belajar-mengajar
-
meningkatkan efisiensi belajar-mengajar
-
menjaga relevansi dengan tujuan belajar
-
membantu konsentrasi mahasiswa
-
Menurut Gagne : Komponen sumber belajar yang dapat merangsang siswa untuk
belajar
-
Menurut Briggs : Wahana fisik yang mengandung materi instruksional
-
Menurut Schramm : Teknologi pembawa informasi atau pesan instruksional
-
Menurut Y. Miarso : Segala sesuatu yang dapat merangsang proses belajar siswa
Tidak diragukan lagi bahwa semua media itu perlu dalam
pembelajaran.
Kalau sampai hari ini masih ada guru yang belum menggunakan media, itu hanya
perlu satu hal yaitu perubahan sikap. Dalam memilih media pembelajaran,
perlu disesuaikan dengan kebutuhan, situasi dan kondisi masing-masing. Dengan
perkataan lain, media yang terbaik adalah media yang ada. Terserah kepada guru
bagaimana ia dapat mengembangkannya secara tepat dilihat dari isi,
penjelasan pesan dan karakteristik siswa untuk menentukan media
pembelajaran
tersebut.
Konsep
Sumber Belajar
A. Apa sumber belajar itu?
Sumber
belajar (learning resources) adalah semua sumber baik berupa data, orang dan
wujud tertentu yang dapat digunakan oleh peserta didik dalam belajar, baik
secara terpisah maupun secara terkombinasi sehingga mempermudah peserta didik
dalam mencapai tujuan belajar atau mencapai kompetensi tertentu.
B. Apa fungsi sumber belajar?
Sumber
belajar memiliki fungsi :
- Meningkatkan produktivitas pembelajaran dengan jalan: (a) mempercepat laju belajar dan membantu guru untuk menggunakan waktu secara lebih baik dan (b) mengurangi beban guru dalam menyajikan informasi, sehingga dapat lebih banyak membina dan mengembangkan gairah.
- Memberikan kemungkinan pembelajaran yang sifatnya lebih individual, dengan cara: (a) mengurangi kontrol guru yang kaku dan tradisional; dan (b) memberikan kesempatan bagi siswa untuk berkembang sesuai dengan kemampuannnya.
- Memberikan dasar yang lebih ilmiah terhadap pembelajaran dengan cara: (a) perancangan program pembelajaran yang lebih sistematis; dan (b) pengembangan bahan pengajaran yang dilandasi oleh penelitian.
- Lebih memantapkan pembelajaran, dengan jalan: (a) meningkatkan kemampuan sumber belajar; (b) penyajian informasi dan bahan secara lebih kongkrit.
- Memungkinkan belajar secara seketika, yaitu: (a) mengurangi kesenjangan antara pembelajaran yang bersifat verbal dan abstrak dengan realitas yang sifatnya kongkrit; (b) memberikan pengetahuan yang sifatnya langsung.
- Memungkinkan penyajian pembelajaran yang lebih luas, dengan menyajikan informasi yang mampu menembus batas geografis.
Fungsi-fungsi
di atas sekaligus menggambarkan tentang alasan dan arti penting sumber belajar
untuk kepentingan proses dan pencapaian hasil pembelajaran siswa
C. Ada berapa jenis sumber
belajar?
Secara
garis besarnya, terdapat dua jenis sumber belajar yaitu:
- Sumber belajar yang dirancang (learning resources by design), yakni sumber belajar yang secara khusus dirancang atau dikembangkan sebagai komponen sistem instruksional untuk memberikan fasilitas belajar yang terarah dan bersifat formal.
- Sumber belajar yang dimanfaatkan(learning resources by utilization), yaitu sumber belajar yang tidak didesain khusus untuk keperluan pembelajaran dan keberadaannya dapat ditemukan, diterapkan dan dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran
Dari
kedua macam sumber belajar, sumber-sumber belajar dapat berbentuk: (1) pesan:
informasi, bahan ajar; cerita rakyat, dongeng, hikayat, dan sebagainya (2)
orang: guru, instruktur, siswa, ahli, nara sumber, tokoh masyarakat, pimpinan
lembaga, tokoh karier dan sebagainya; (3) bahan: buku, transparansi, film,
slides, gambar, grafik yang dirancang untuk pembelajaran, relief, candi, arca,
komik, dan sebagainya; (4) alat/ perlengkapan: perangkat keras, komputer,
radio, televisi, VCD/DVD, kamera, papan tulis, generator, mesin, mobil, motor,
alat listrik, obeng dan sebagainya; (5) pendekatan/ metode/ teknik: disikusi,
seminar, pemecahan masalah, simulasi, permainan, sarasehan, percakapan biasa,
diskusi, debat, talk shaw dan sejenisnya; dan (6) lingkungan: ruang kelas,
studio, perpustakaan, aula, teman, kebun, pasar, toko, museum, kantor dan
sebagainya.
D. Apa kriteria memilih
sumber belajar?
Dalam
memilih sumber belajar harus memperhatikan kriteria sebagai berikut: (1)
ekonomis: tidak harus terpatok pada harga yang mahal; (2) praktis: tidak
memerlukan pengelolaan yang rumit, sulit dan langka; (3) mudah: dekat dan
tersedia di sekitar lingkungan kita; (4) fleksibel: dapat dimanfaatkan untuk
berbagai tujuan instruksional dan; (5) sesuai dengan tujuan: mendukung proses
dan pencapaian tujuan belajar, dapat membangkitkan motivasi dan minat belajar
siswa.
E. Bagaimana memanfaatkan
lingkungan sebagai sumber belajar?
Lingkungan
merupakan salah satu sumber belajar yang amat penting dan memiliki nilai-nilai
yang sangat berharga dalam rangka proses pembelajaran siswa. Lingkungan dapat
memperkaya bahan dan kegiatan belajar.
Lingkungan
yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber
belajar
terdiri dari : (1) lingkungan sosial dan (2) lingkungan fisik (alam).
Lingkungan sosial dapat digunakan untuk memperdalam ilmu-ilmu sosial dan
kemanusiaan sedangkan lingkungan alam dapat digunakan untuk mempelajari tentang
gejala-gejala alam dan dapat menumbuhkan kesadaran peserta didik akan cinta
alam dan partispasi dalam memlihara dan melestarikan alam.
Pemanfaatan
lingkungan dapat ditempuh dengan cara melakukan kegiatan dengan membawa peserta
didik ke lingkungan, seperti survey, karyawisata, berkemah, praktek lapangan
dan sebagainya. Bahkan belakangan ini berkembang kegiatan pembelajaran dengan
apa yang disebut out-bond, yang pada dasarnya merupakan proses pembelajaran
dengan menggunakan alam terbuka.
Di
samping itu pemanfaatan lingkungan dapat dilakukan dengan cara membawa
lingkungan ke dalam kelas, seperti : menghadirkan nara sumber untuk
menyampaikan materi di dalam kelas. Agar penggunaan lingkungan sebagai sumber
belajar berjalan efektif, maka perlu dilakukan perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi serta tindak lanjutnya.
F. Bagaimana prosedur
merancang sumber belajar?
Secara
skematik, prosedur merancang sumber belajar dapat mengikuti alur sebagai
berikut:
G. Bagaimana mengoptimalkan
sumber belajar?
Banyak
orang beranggapan bahwa untuk menyediakan sumber belajar menuntut adanya biaya
yang tinggi dan sulit untuk mendapatkannya, yang kadang-kadang ujung-ujungnya
akan membebani orang tua siswa untuk mengeluarkan dana pendidikan yang lebih
besar lagi. Padahal dengan berbekal kreativitas, guru dapat membuat dan menyediakan
sumber belajar yang sederhana dan murah. Misalkan, bagaimana guru dan siswa
dapat memanfaatkan bahan bekas. Bahan bekas, yang banyak berserakan di sekolah
dan rumah, seperti kertas, mainan, kotak pembungkus, bekas kemasan sering luput
dari perhatian kita. Dengan sentuhan kreativitas, bahan-bahan bekas yang
biasanya dibuang secara percuma dapat dimodifikasi dan didaur-ulang menjadi
sumber belajar yang sangat berharga. Demikian pula, dalam memanfaatkan
lingkungan sebagai sumber belajar tidak perlu harus pergi jauh dengan biaya
yang mahal, lingkungan yang berdekatan dengan sekolah dan rumah pun dapat
dioptimalkan menjadi sumber belajar yang sangat bernilai bagi kepentingan
belajar siswa. Tidak sedikit sekolah-sekolah di kita yang memiliki halaman atau
pekarangan yang cukup luas, namun keberadaannya seringkali ditelantarkan dan
tidak terurus. Jika saja lahan-lahan tersebut dioptimalkan tidak mustahil akan
menjadi sumber belajar yang sangat berharga.
Belakangan
ini di sekolah-sekolah tertentu mulai dikembangkan bentuk pembelajaran dengan
menggunakan internet, sehingga siswa “dipaksa” untuk menyewa internet –yang
memang ukuran Indonesia pada umumnya-, masih dianggap relatif mahal. Kenapa
tidak disediakan dan dikelola saja oleh masing-masing sekolah? Mungkin dengan
cara difasilitasi oleh sekolah hasilnya akan jauh lebih efektif dan efisien,
dibandingkan harus melalui rental ke WarNet. Bukankah sekarang ini sudah
tersedia paket-paket hemat untuk berinternet yang disediakan para provider?
KARAKTERISTIK MODEL PEMBELAJARAN
KOOPERATIF
Pembelajaran kooperatif berbeda dengan strategi pembelajaran yang lain.
Perbedaan tersebut dapat dilihat dari proses pembelajaran yang lebih menekankan
pada proses kerja sama dalam kelompok. Tujuan yang ingin dicapai tidak hanya
kemampuan akademik dalam pengertian penguasaan materi pelajaran, tetapi juga
adanya unsur kerja sama untuk penguasaan materi tersebut. Adanya kerja sama
inilah yang menjadi ciri khas dari cooperative learning.
Karakteristik atau ciri – ciri pembelajaran kooperatif dapat dijelaskan sebagai berikut :
Karakteristik atau ciri – ciri pembelajaran kooperatif dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Pembelajaran secara tim
Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran dilakukan secara tim. Tim merupakan tempat untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, tim harus mampu membuat setiap siswa belajar. Setiap anggota tim harus saling membantu untuk mencapai tujuan pemebelajaran.
2. Didasarkan pada manajemen kooperatif
Manajemen kooperatif mempunyai tiga fungsi yaitu : (a) fungsi manajemen sebagai perencanaan pelaksanaan, (b) fungsi manajemen sebagai organisasi, (c) fungsi manajemen sebagai kontrol
3. Kemauan untuk bekerja sama
Keberhasilan pembelajaran kooperatif ditentukan oleh keberhasilan secara kelompok, oleh karenanya prinsip kebersamaan atau kerja sama perlu ditekankan dalam pembelajaran kooperatif. Tanpa kerja sama yang baik, pembelajaran kooperatif tidak akan mencapai hasil yang optimal.
4. Keterampilan bekerja sama
Kemampuan bekerja sama itu dipraktikan melalui aktivitas dalam kegiatan pembelajaran secara berkelompok. Dengan demikian, siswa perlu didorong untuk mau dan sanggup berinteraksi dan berkomunikasi dengan anggota lain dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan
Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran dilakukan secara tim. Tim merupakan tempat untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, tim harus mampu membuat setiap siswa belajar. Setiap anggota tim harus saling membantu untuk mencapai tujuan pemebelajaran.
2. Didasarkan pada manajemen kooperatif
Manajemen kooperatif mempunyai tiga fungsi yaitu : (a) fungsi manajemen sebagai perencanaan pelaksanaan, (b) fungsi manajemen sebagai organisasi, (c) fungsi manajemen sebagai kontrol
3. Kemauan untuk bekerja sama
Keberhasilan pembelajaran kooperatif ditentukan oleh keberhasilan secara kelompok, oleh karenanya prinsip kebersamaan atau kerja sama perlu ditekankan dalam pembelajaran kooperatif. Tanpa kerja sama yang baik, pembelajaran kooperatif tidak akan mencapai hasil yang optimal.
4. Keterampilan bekerja sama
Kemampuan bekerja sama itu dipraktikan melalui aktivitas dalam kegiatan pembelajaran secara berkelompok. Dengan demikian, siswa perlu didorong untuk mau dan sanggup berinteraksi dan berkomunikasi dengan anggota lain dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan
PROSEDUR PEMBELAJARAN KOOPERATIF
Prosedur atau langkah – langkah pembelajaran kooperatif pada prinsipnya terdiri atas empat tahap, yaitu sebagai berikut :
1. Penjelasan Materi : tahap ini merupakan tahap penyampaian pokok – pokok materi pelajaran sebelum siswa belajar dalam kelompok. Tujuan utama tahap ini adalah pemahaman siswa terhadap pokok materi pelajaran.
2. Belajar Kelompok : tahap ini dilakukan setelah guru memberikan penjelasan materi, siswa bekerja dlam kelompok yang telah dibentuk sebelumnya.
3. Penilaian : penilaian dalam pembelajaran kooperatif bisa dilakukan melalui tes atau kuis.
4. Pengakuan Tim : penetapan tim yang dianggap paling menonjol atau tim paling berprestasi untuk kemudian diberikan penghargaan atau hadiah.
Prosedur atau langkah – langkah pembelajaran kooperatif pada prinsipnya terdiri atas empat tahap, yaitu sebagai berikut :
1. Penjelasan Materi : tahap ini merupakan tahap penyampaian pokok – pokok materi pelajaran sebelum siswa belajar dalam kelompok. Tujuan utama tahap ini adalah pemahaman siswa terhadap pokok materi pelajaran.
2. Belajar Kelompok : tahap ini dilakukan setelah guru memberikan penjelasan materi, siswa bekerja dlam kelompok yang telah dibentuk sebelumnya.
3. Penilaian : penilaian dalam pembelajaran kooperatif bisa dilakukan melalui tes atau kuis.
4. Pengakuan Tim : penetapan tim yang dianggap paling menonjol atau tim paling berprestasi untuk kemudian diberikan penghargaan atau hadiah.
MODEL – MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF
Adapun beberapa variasi jenis model dalam pembelajaran kooperatif, walaupun prinsip dasar dari pembelajaran kooperatif ini tidak berubah, jenis – jenis model tersebut adalah sebagai berikut :
2.2.9.4.1 Model Pembelajaran Jigsaw
Jigsaw adalah tipe pembelajaran kooperatif yang dikembangkan oleh Elliot Aronson’s. Model pembelajaran ini didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut kepada kelompoknya. “Model Pembelajaran Jigsaw adalah model pembelajaran kooperatif yang menitikberatkan pada kerja kelmpok siswa dalam bentuk kelompok kecil “ Rusman (2011:218). Menurut Lie (dalam Rusman (2011:218) “Pembelajaran Kooperatif model Jigsaw ini merupakan model belajar kooperatif dengan cara siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari empat sampai enam orang secara heterogen dan siswa bekerja sama ketergantungan positif dan bertanggung jawab secara mandiri”
Sesuai dengan namanya, teknis penerapan tipe pembelajaran ini maju mundur seperti gergaji. Menurut Arends (1997), langkah-langkah penerapan model pembelajaran Jigsaw dalam matematika, yaitu:
1. Membentuk kelompok heterogen yang beranggotakan 4 – 6 orang
2. Masing-masing kelompok mengirimkan satu orang wakil mereka untuk membahas topik, wakil ini disebut dengan kelompok ahli
3. Kelompok ahli berdiskusi untuk membahas topik yang diberikan dan saling membantu untuk menguasai topik tersebut
4. Setelah memahami materi, kelompok ahli menyebar dan kembali ke kelompok masing-masing, kemudian menjelaskan materi kepada rekan kelompoknya
5. Guru memberikan tes individual pada akhir pembelajaran tentang materi yang telah didiskusikan
6. Kunci pembelajaran ini adalah interpedensi setiap siswa terhadap anggota kelompok untuk memberikan informasi yang diperlukan dengan tujuan agar dapat mengerjakan tes dengan baik.
Bila dibandingkan dengan metode pembelajaran tradisional, model pembelajaran Jigsaw memiliki beberapa kelebihan yaitu:
1. Mempermudah pekerjaan guru dalam mengajar,karena sudah ada kelompok ahli yang bertugas menjelaskan materi kepada rekan-rekannya
2. Pemerataan penguasaan materi dapat dicapai dalam waktu yang lebih singkat
3. Metode pembelajaran ini dapat melatih siswa untuk lebih aktif dalam berbicara dan berpendapat.
Dalam penerapannya sering dijumpai beberapa permasalahan/kekurangan yaitu :
1. Siswa yang aktif akan lebih mendominasi diskusi, dan cenderung mengontrol jalannya diskusi. Untuk mengantisipasi masalah ini guru harus benar-benar memperhatikan jalannya diskusi. Guru harus menekankan agar para anggota kelompok menyimak terlebih dahulu penjelasan dari tenaga ahli. Kemudian baru mengajukan pertanyaan apabila tidak mengerti.
2. Siswa yang memiliki kemampuan membaca dan berpikir rendah akan mengalami kesulitan untuk menjelaskan materi apabila ditunjuk sebagai tenaga ahli. Untuk mengantisipasi hal ini guru harus memilih tenaga ahli secara tepat, kemudian memonitor kinerja mereka dalam menjelaskan materi, agar materi dapat tersampaikan secara akurat.
3. Siswa yang cerdas cenderung merasa bosan. Untuk mengantisipasi hal ini guru harus pandai menciptakan suasana kelas yang menggairahkan agar siswa yang cerdas tertantang untuk mengikuti jalannya diskusi.
4. Siswa yang tidak terbiasa berkompetisi akan kesulitan untuk mengikuti proses pembelajaran.
2.2.9.4.2 Investigasi Kelompok (Group Investigation)
Strategi belajar Group Investigation dikembangkan oleh Shlomo Sharan dan Yael Sharan di Universitas Tel Aviv, Israel. Secara umum perencanaan pengorganisasian kelas dengan menggunakan teknik kooperatif Group Investigation adalah kelompok dibentuk oleh sisiwa itu sendiri dengan beranggotakan 2 – 6 anak, tiap kelompok bebas memilih subtopic dari keseluruhan unit materi (pokok bahasan) yang akan diajarkan, dan kemudian membuat atau menghasilkan laporan kelompok. Selanjutnya, setiap kelompok mempresentasikan atau memamerkan laporannya kepada seluruh kelas, untuk berbagi dan saling tukar informasi temuan mereka.
Belajar kooperatif dengan teknik Group Investigation sangat cocok untuk bidang kajian yang memerlukan kegiatan studi proyek terintegrasi (Slavin, 1995a, dalam Rusman, 2011:221) yang mengarah pada kegiatan penelitian, analisis, dan sintesis informasi dalam upaya untuk memecahkan suatau masalah.
Implementasi stategi belajar Group Investigation meliputi:
1. Mengidentifikasi topik dan mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok.
2. Guru bersama siswa merencanakan tugas-tugas belajar.
3. Melaksanakan investigasi ( siswa mencari informasi, menganalisis data, dan membuat kesimpulan).
4. Menyiapkan laporan akhir.
5. Mempresentasikan laporan.
6. Evaluasi, para sisiwa berbagi informasi terhadap topik yang dikerjakan, kerja yang telah dilakukan, pengalaman-pengalaman siswa.
Manfaat menggunakan model pembelajaran Group Investigation:
1. Pengembangan kreativitas siswa.
2. Dengan adanya pembagian tugas dan tanggungjawab, anak-anak belajar bertanggungjawab.
3. Komponen emosional lebih penting daripada intelektual, yang tak rasional lebih penting dari pada yang rasional, misal; menumbuhkan jiwa sosial.
4. Untuk meningkatkan peluang keberhasilan dalam memcahkan masalah.
Model Pembelajaran Inovatif
Model pembelajaran inovatif merupakan salah satu model
pembelajaran yang patut dipertimbangkan untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran dalam lingkungan keluarga. Model pembelajaran inovatif ini berciri
antisipasi dan partisipasi, menyeimbangkan antara kegiatan penyadaran dengan
kegiatan pemberdayaan,antara pembentukan otonomi dengan pembentukan integrasi
setiap anak.
Beberapa model pembelajaran inovatif telah dikembangkan untuk memacu siswa berperan aktif dalam setiap pembelajaran. Siswa diharapkan mampu dan mau meberikan pendapatnya. Model pembelajaran inovatif menuntut siswa untuk terlibat saling tukar pikiran, berkolaborasi dan berkomunikasi untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan sehingga diharapkan siswa mampu mngembangkan kemampuan komunikasi mereka.
Salah satu contoh penerapan model pembelajaran inovatif adalah dengan cara membuat cerita digital dalam kegiatan belajar mengajar sehingga dapat memberi kesempatan kepada siswa untuk mendapatkan ketrampilan , kreativitas dan daya cipta, kecerdasan ganda, pemikiran tingkat tinggi, literasi informasi, literasi visual, literasi suara, literasi teknologi, berkomunikasi efektif, bekerja dalam tim dan berkolaborasi serta memperkuat pemahaman.
Berbagai skenario kegiatan dapat kita rancang untuk membawa penceritaan digital ini ke dalam kurikulum dan kegiatan belajar mengajar. Penceritaan digital ini juga tidak sekedar cocok untuk pelajaran seni rupa atau bahasa saja. Namun dapat diintegrasikan dala mata pelajaran umum ataupun tematis. Guru dapat mengajak siswa membuat presentasi multimedia yang menjelaskan tentang kondisi ekonomi di lingkungan sekitarnya atau bisa juga meminta siswa untuk membuat cerita bergambar tentang apa yang mereka ketahui tentang pemanasan global, atau bahakan membuat video iklan layanan masyarakat untuk menjaga kebersihan lingkungan.
Beberapa model pembelajaran inovatif telah dikembangkan untuk memacu siswa berperan aktif dalam setiap pembelajaran. Siswa diharapkan mampu dan mau meberikan pendapatnya. Model pembelajaran inovatif menuntut siswa untuk terlibat saling tukar pikiran, berkolaborasi dan berkomunikasi untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan sehingga diharapkan siswa mampu mngembangkan kemampuan komunikasi mereka.
Salah satu contoh penerapan model pembelajaran inovatif adalah dengan cara membuat cerita digital dalam kegiatan belajar mengajar sehingga dapat memberi kesempatan kepada siswa untuk mendapatkan ketrampilan , kreativitas dan daya cipta, kecerdasan ganda, pemikiran tingkat tinggi, literasi informasi, literasi visual, literasi suara, literasi teknologi, berkomunikasi efektif, bekerja dalam tim dan berkolaborasi serta memperkuat pemahaman.
Berbagai skenario kegiatan dapat kita rancang untuk membawa penceritaan digital ini ke dalam kurikulum dan kegiatan belajar mengajar. Penceritaan digital ini juga tidak sekedar cocok untuk pelajaran seni rupa atau bahasa saja. Namun dapat diintegrasikan dala mata pelajaran umum ataupun tematis. Guru dapat mengajak siswa membuat presentasi multimedia yang menjelaskan tentang kondisi ekonomi di lingkungan sekitarnya atau bisa juga meminta siswa untuk membuat cerita bergambar tentang apa yang mereka ketahui tentang pemanasan global, atau bahakan membuat video iklan layanan masyarakat untuk menjaga kebersihan lingkungan.
Prinsip-prinsip
Penilaian Hasil Belajar
Dalam melaksanakan penilaian hasil
belajar, pendidik perlu memperhatikan prinsip-prinsip penilaian sebagai
berikut:
1. Valid/sahih
Penilaian hasil belajar oleh
pendidik harus mengukur pencapaian kompetensi yang ditetapkan dalam standar isi
(standar kompetensi dan kompetensi dasar) dan standar kompetensi lulusan.
Penilaian valid berarti menilai apa yang seharusnya dinilai dengan menggunakan
alat yang sesuai untuk mengukur kompetensi.
2. Objektif
Penilaian hasil belajar peserta
didik hendaknya tidak dipengaruhi oleh subyektivitas penilai, perbedaan latar
belakang agama, sosial-ekonomi, budaya, bahasa, gender, dan hubungan emosional.
3. Transparan/terbuka
Penilaian hasil belajar oleh
pendidik bersifat terbuka artinya prosedur penilaian, kriteria penilaian dan
dasar pengambilan keputusan terhadap hasil belajar peserta didik dapat
diketahui oleh semua pihak yang berkepentingan.
4. Adil
Penilaian hasil belajar tidak
menguntungkan atau merugikan peserta didik karena berkebutuhan khusus serta
perbedaan latar belakang agama, suku budaya, adat istiadat, status sosial
ekonomi, dan gender.
- Terpadu
Penilaian hasil belajar oleh
pendidik merupakan salah satu komponen yang tak terpisahkan dari kegiatan
pembelajaran.
- Menyeluruh dan berkesinambungan
Penilaian hasil belajar oleh
pendidik mencakup semua aspek kompetensi dengan menggunakan berbagai teknik
penilaian yang sesuai, untuk memantau perkembangan kemampuan peserta didik.
- Bermakna
Penilaian hasil belajar oleh
pendidik hendaknya mudah dipahami, mempunyai arti, bermanfaat, dan dapat
ditindaklanjuti oleh semua pihak,terutama guru, peserta didik, dan orangtua
serta masyarakat
- Sistematis
Penilaian hasil belajar oleh
pendidik dilakukan secara berencana dan bertahap dengan mengikuti
langkah-langkah baku.
- Akuntabel
Penilaian hasil belajar oleh
pendidik dapat dipertanggungjawabkan, baik dari segi teknik, prosedur, maupun
hasilnya.
- Beracuan kriteria
Penilaian hasil belajar oleh
pendidik didasarkan pada ukuran pencapaian kompetensi yang ditetapkan.
Karakteristik Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)
Istilah pendidikan IPS dalam penyelenggaraan
pendidikan di Indonesia masih relatif baru digunakan. Pendidikan IPS merupakan
padanan dari social studies dalam konteks kurikulum di Amerika
Serikat. Istilah tersebut pertama kali digunakan di AS pada tahun 1913
mengadopsi nama lembaga Sosial Studies yang mengembangkan kurikulum di
AS (Marsh, 1980; Martoella, 1976).
Kurikulum pendidikan IPS tahun 1994 sebagaimana yang
dikatakan oleh Hamid Hasan (1990), merupakan fusi dari berbagai disiplin ilmu,
Martoella (1987) mengatakan bahwa pembelajaran Pendidikan IPS lebih menekankan
pada aspek “pendidikan” dari pada “transfer konsep”, karena dalam pembelajaran
pendidikan IPS peserta didik diharapkan memperoleh pemahaman terhadap sejumlah
konsep dan mengembangkan serta melatih sikap, nilai, moral, dan keterampilannya
berdasarkan konsep yang telah dimilikinya. Dengan demikian, pembelajaran
pendidikan IPS harus diformulasikannya pada aspek kependidikannya.
Ada 10 konsep social studies dari NCSS, yaitu
(1) culture; (2) time, continuity and change; (3) people,
places and environments; (4) individual development and identity;
(5) individuals, group, and institutions; (6) power, authority and
govermance; (7) production, distribution and consumption; (8) science,
technology and society; (9) global connections, dan; (10) civic
idealsand practices.(NCSS
http://www.socialstudies.org/standar/exec.html).
Konsep IPS, yaitu: (1) interaksi, (2) saling
ketergantungan, (3) kesinambungan dan perubahan, (4)
keragaman/kesamaan/perbedaan, (5) konflik dan konsesus, (6) pola (patron),
(7) tempat, (8) kekuasaan (power), (9) nilai kepercayaan, (10)
keadilan dan pemerataan, (11) kelangkaan (scarcity), (12) kekhususan,
(13) budaya (culture), dan (14) nasionalisme.
Mengenai tujuan ilmu pengetahuan sosial, para ahli sering mengaitkannya dengan berbagai sudut
kepentingan dan penekanan dari program pendidikan tersebut, Gross (1978)
menyebutkan bahwa tujuan pendidikan IPS adalah untuk mempersiapkan peserta
didik menjadi warga negara yang baik dalam kehidupannya di masyarakat, secara
tegas ia mengatakan “to prepare students to be well functioning citizens in
a democratic society”. Tujuan lain dari pendidikan IPS adalah untuk
mengembangkan kemampuan peserta didik menggunakan penalaran dalam
mengambil keputusan setiap persoalan yang dihadapinya (Gross, 1978).
Ilmu pengetahuan sosial juga membahas hubungan antara
manusia dengan lingkungannya. Lingkungan masyarakat dimana anak didik tumbuh
dan berkembang sebagai bagian dari masyarakat, dihadapkan pada berbagai
permasalahan yang ada dan terjadi di lingkungan sekitarnya. Pendidikan IPS berusaha
membantu peserta didik dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi sehingga
akan menjadikannya semakin mengerti dan memahami lingkungan sosial
masyarakatnya (Kosasih, 1994).
Pada dasarnya tujuan dari pendidikan IPS adalah untuk mendidik dan memberi bekal kemampuan dasar kepada
siswa untuk mengembangkan diri sesuai dengan bakat, minat, kemampuan, dan
lingkungannya, serta berbagai bekal siswa untuk melanjutkan pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi. Berdasarkan pengertian dan tujuan dari pendidikan
IPS, tampaknya dibutuhkan suatu pola pembelajaran yang mampu menjembatani
tercapainya tujuan tersebut. Kemampuan dan keterampilan guru dalam memilih dan
menggunakan berbagai model, metode dan strategi pembelajaran senantiasa terus
ditingkatkan (Kosasih, 1994), agar pembelajaran Pendidikan IPS benar-benar
mampu mengondisikan upaya pembekalan kemampuan dan keterampilan dasar bagi
peserta didik untuk menjadi manusia dan warga negara yang baik. Hal ini
dikarenakan pengondisian iklim belajar merupakan aspek penting bagi tercapainya
tujuan pendidikan (Azis Wahab, 1986).
Pola pembelajaran pendidikan IPS menekankan pada unsur
pendidikan dan pembekalan pada peserta didik. Penekanan pembelajarannya bukan
sebatas pada upaya mencecoki atau menjejali peserta didik dengan sejumlah
konsep yang bersifat hafalan belaka, melainkan terletak pada upaya agar mereka
mampu menjadikan apa yang tekag dipelajarinya sebagai bekal dalam memahami dan
ikut serta dalam melakoni kehidupan masyarakat lingkungannya, serta sebagai
bekal bagi dirinya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Di sinilah sebenarnya penekanan misi dari pendidikan IPS. Oleh karena itu,
rancangan pembelajaran guru hendaknya diarahkan dan difokuskan sesuai dengan
kondisi dan perkembangan potensi siswa agar pembelajaran yang dilakukan
benar-benar berguna dan bermanfaat bagi siswa (Kosasih, 1994; Hamid Hasan,
1996).
Karakteristik mata pembelajaran IPS berbeda dengan
disiplin ilmu lain yang bersifat monolitik. Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)
merupakan integrasi dari berbagai disiplin ilmu-ilmu sosial seperti: sosiologi,
sejarah, geografi, ekonomi, politik, hukum, dan budaya. Rumusan Ilmu
Pengetahuan Sosial berdasarkan realitas dan fenomena sosial melalui pendekatan
interdisipliner.
Geografi, sejarah, dan antropologi merupakan disiplin
ilmu yang memiliki keterpaduan yang tinggi. Pembelajaran geografi memberikan
kebulatan wawasan yang berkenaan dengan wilayah-wilayah, sedangkan sejarah
memberikan wawasan berkenaan dengan peristiwa-peristiwa dari berbagai periode.
Antropologi meliputi studi-studi komparatif yang berkenaan dengan nilai-nilai,
kepercayaan, struktur sosial, aktivitas-aktivitas ekonomi, organisasi politik,
ekspresi-ekspresi dan spiritual, teknologi, dan benda-benda budaya dari
budaya-budaya terpilih. Ilmu politik dan ekonomi tergolong ke dalam ilmu-ilmu
tentang kebijakan pada aktivitas-aktivitas yang berkenaan dengan pembuatan
keputusan. Sosiologi dan psikologi sosial merupakan ilmu-ilmu tentang perilaku
seperti konsep peran, kelompok, institusi, proses interaksi dan kontrol sosial.
Secara intensif konsep-konsep seperti ini digunakan ilmu-ilmu sosial dan
studi-studi sosial.
Karateristik mata pelajaran IPS SMA antara lain
sebagai berikut.
- Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan gabungan dari unsur-unsur geografi, sejarah, ekonomi, hukum dan politik, kewarganegaraan, sosiologi, bahkan juga bidang humaniora, pendidikan dan agama (Numan Soemantri, 2001).
- Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPS berasal dari struktur keilmuan geografi, sejarah, ekonomi, dan sosiologi, yang dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi pokok bahasan atau topik (tema) tertentu.
- Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPS juga menyangkut berbagai masalah sosial yang dirumuskan dengan pendekatan interdisipliner dan multidisipliner.
- Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar dapat menyangkut peristiwa dan perubahan kehidupan masyarakat dengan prinsip sebab akibat, kewilayahan, adaptasi dan pengelolaan lingkungan, struktur, proses dan masalah sosial serta upaya-upaya perjuangan hidup agar survive seperti pemenuhan kebutuhan, kekuasaan, keadilan dan jaminan keamanan (Daldjoeni, 1981).
- Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPS menggunakan tiga dimensi dalam mengkaji dan memahami fenomena sosial serta kehidupan manusia secara keseluruhan. Ketiga dimensi tersebut terlihat pada tabel berikut.
Tabel 1 Cakupan dalam Pembelajaran IPS(Sumber: Sardiman, 2004)
Cakupan
|
Ruang
|
Waktu
|
Nilai/Norma
|
Area dan
substansi pembelajaran
|
Alam sebagai
tempat dan penyedia potensi sumber daya
|
Alam dan
kehidupan yang selalu berproses, masa lalu, saat ini, dan yang akan dating
|
Acuan
sikap dan perilaku manusia berpa kaidah atau aturan yang menjadi perekat dan
penjamin keharmonisan kehidupan manusia dan alam
|
Contoh
Kompetensi Dasar yang dikembangkan
|
Adaptasi
spasial dan eksploratif
|
Berpikir
kronologis, prospektif, antisipatif
|
Konsisten
dengan aturan yang disepakati dan kaidah alamiah masing-masing disiplin ilmu
|
Alternatif
penyajian dalam mata pelajaran
|
Geografi
|
Sejarah
|
Ekonomi,
Sosiologi/ Antropologi
|
Tujuan utama Ilmu Pengetahuan Sosial ialah untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang
terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala
ketimpangan yang terjadi, dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi
sehari-hari baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa masyarakat.
Tujuan tersebut dapat dicapai manakala program-program
pembelajaran IPS di sekolah diorganisasikan secara baik. Dari rumusan tujuan
tersebut dapat dirinci sebagai berikut (Awan Mutakin, 1998).
- Memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap masyarakat atau lingkungannya, melalui pemahaman terhadap nilai-nilai sejarah dan kebudayaan masyarakat.
- Mengetahui dan memahami konsep dasar dan mampu menggunakan metode yang diadaptasi dari ilmu-ilmu sosial yang kemudian dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah sosial.
- Mampu menggunakan model-model dan proses berpikir serta membuat keputusan untuk menyelesaikan isu dan masalah yang berkembang di masyarakat.
- Menaruh perhatian terhadap isu-isu dan masalah-masalah sosial, serta mampu membuat analisis yang kritis, selanjutnya mampu mengambil tindakan yang tepat.
- Mampu mengembangkan berbagai potensi sehingga mampu membangun diri sendiri agar survive yang kemudian bertanggung jawab membangun masyarakat. pengembangan keterampilan pembuatan keputusan.
- Memotivasi seseorang untuk bertindak berdasarkan moral.
- Fasilitator di dalam suatu lingkungan yang terbuka dan tidak bersifat menghakimi.
- Mempersiapkan siswa menjadi warga negara yang baik dalam kehidupannya “to prepare students to be well-functioning citizens in a democratic society’ dan mengembangkan kemampuan siswa mengunakan penalaran dalam mengambil keputusan pada setiap persoalan yang dihadapinya.
- Menekankan perasaan, emosi, dan derajat penerimaan atau penolakan siswa terhadap materi Pembelajaran IPS yang diberikan.
PENILAIAN
PROSES DAN HASIL BELAJAR
Ditinjau
dari sudut bahasa, penilaian diartikan sebagai proses menentukan nilai suatu
objek. Untuk dapat menentukan suatu nilai atau harga suatu objek diperlukan
adanya ukuran atau kriteria. Dengan demikian penilaian adalah proses memberikan
atau menentukan nilai kepada objek tertentu berdasarkan suatu kriteria
tertentu. Dalam penilaian Pendidikan, mencangkup tiga sasaran utama yakni
program pendidikan, proses belajar mengajar dan hasil-hasil belajar.
2.1.1.
Penilaian Hasil Belajar
Sudjana
(2005) juga mengatakan bahwa penilaian hasil belajar adalah proses pemberian
nilai terhadap hasil-hasil belajar yang dicapai siswa dengan kriteria tertentu.
Hal ini mengisyaratkan bahwa objek yang dinilainya adalah hasil belajar siswa.
Hasil
belajar siswa pada hakikatnya merupakan perubahan tingkah laku setelah melalui
proses belajar mengajar. Tingkah laku sebagai hasil belajar dalam pengertian
luas mencakup bidang kognitif, afektif dan psikomotorik. Penilaian dan
pengukuran hasil belajar dilakukan dengan menggunakan tes hasil belajar,
terutama hasil belajar kognitif berkenaan dengan penguasaan bahan pengajaran
sesuai dengan tujuan pendidikan dan pengajaran.
Hasil
belajar merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi siswa dan
dari sisi guru. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan tingkat perkembangan
mental yang lebih baik bila dibandingkan pada saat sebelum belajar. Tingkat
perkembangan mental tersebut terwujud pada jenis-jenis ranah kognitif, afektif,
dan psikomotor. Sedangkan dari sisi guru, hasil belajar merupakan saat
terselesikannya bahan pelajaran. Hasil juga bisa diartikan adalah bila
seseorang telah belajar akan terjadi perubahan tingkah laku pada orang
tersebut, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak mengerti
menjadi mengerti.
Hasil
belajar merupakan suatu puncak proses belajar. Hasil belajar tersebut terjadi
terutama berkat evaluasi guru. Hasil belajar dapat berupa dampak pengajaran dan
dampak pengiring. Kedua dampak tersebut bermanfaat bagi guru dan siswa.
Menurut
Woordworth (dalam Ismihyani 2000), hasil belajar merupakan perubahan tingkah
laku sebagai akibat dari proses belajar. Woordworth juga mengatakan bahwa hasil
belajar adalah kemampuan aktual yang diukur secara langsung. Hasil pengukuran
belajar inilah akhirnya akan mengetahui seberapa jauh tujuan pendidikan dan
pengajaran yang telah dicapai.
Dari
penjelasan beberapa ahli, dapat diambil kesimpulan bahwa belajar pada
hakekatnya adalah proses perubahan perilaku siswa dalam bakat pengalaman dan
pelatihan.
Penilaian
hasil belajar dilakukan oleh pendidik, satuan pendidikan, dan pemerintah (PP
No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Pasal 63 Ayat 1) . Pada
Edisi ke-3 kita telah membahas penilaian hasil belajar yang dilakukan oleh
pendidik. Sekarang kita akan membahas penilaian hasil belajar yang dilakukan
oleh satuan pendidikan.
Penilaian
hasil belajar oleh satuan pendidikan dilakukan untuk menilai pencapaian
kompetensi peserta didik pada semua mata pelajaran. Permendiknas No. 20 Tahun
2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan menjelaskan bahwa penilaian hasil
belajar oleh satuan pendidikan meliputi kegiatan sebagai berikut:
1.
Menentukan KKM
setiap
mata pelajaran dengan memperhatikan karakteristik peserta didik, karakteristik
mata pelajaran, dan kondisi satuan pendidikan melalui rapat dewan pendidik.
2.
Mengkoordinasikan
ulangan
tengah semester, ulangan akhir semester, dan ulangan kenaikan kelas.
3.
Menentukan kriteria
kenaikan
kelas bagi satuan pendidikan yang menggunakan sistem paket melalui rapat dewan
pendidik.
4.
Menentukan kriteria
program
pembelajaran bagi satuan pendidikan yang menggunakan sistem kredit semester
melalui rapat dewan pendidik.
5.
Menentukan nilai
akhir
kelompok mata pelajaran estetika dan kelompok mata pelajaran pendidikan
jasmani, olah raga dan kesehatan melalui rapat dewan pendidik dengan mempertimbangkan
hasil penilaian oleh pendidik.
6.
Menentukan nilai
akhir
kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dan kelompok mata pelajaran
kewarganegaraan dan kepribadian dilakukan melalui rapat dewan pendidik dengan
mempertimbangkan hasil penilaian oleh pendidik dan nilai hasil ujian
sekolah/madrasah.
7.
Menyelenggarakan
ujian
sekolah/madrasah dan menentukan kelulusan peserta didik dari ujian
sekolah/madrasah sesuai dengan POS Ujian Sekolah/Madrasah bagi satuan
pendidikan penyelenggara UN.
8.
Melaporkan hasil
penilaian
mata pelajaran untuk semua kelompok mata pelajaran pada setiap akhir semester
kepada orang tua/wali peserta didik dalam bentuk buku laporan pendidikan.
9.
Melaporkan pencapaian
hasil
belajar tingkat satuan pendidikan kepada dinas pendidikan kabupaten/kota.
1.
Menentukan kelulusan
peserta
didik dari satuan pendidikan melalui rapat dewan pendidik sesuai dengan
kriteria:
-
Menyelesaikan seluruh program pembelajaran.
-
Memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran
kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; kelompok mata pelajaran
kewarganegaraan dan kepribadian; kelompok mata pelajaran estetika; dan kelompok
mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan.
-
Lulus ujian sekolah/madrasah.
-
Lulus UN.
1.
Menerbitkan Surat
Keterangan
Hasil Ujian Nasional (SKHUN) setiap peserta didik yang mengikuti Ujian Nasional
bagi satuan pendidikan penyelenggara UN.
2.
Menerbitkan ijazah
setiap
peserta didik yang lulus dari satuan pendidikan bagi satuan pendidikan
penyelenggara UN. (ton)
Tujuan
Penilaian Hasil Belajar
Sudjana
(2005) mengutarakan tujuan penilaian hasil belajar sebagai berikut:
1.
Mendeskripsikan
kecakapan
belajar siswa sehingga dapat diketahui kelebihan dan kekurangannya dalam
berbagai bidang studi atau mata pelajaran yang ditempuhnya. Dengan
pendeskripsian kecakapan tersebut dapat diketahui pula posisi kemampuan siswa
dibandingkan dengan siswa lainnya.
2.
Mengetahui keberhasilan proses pendidikan dan pengajaran
di
sekolah, yakni seberapa jauh keefektifannya dalam mengubah tingkah laku siswa
ke arah tujuan pendidikan yang diharapkan.
3.
Menentukan tindak lanjut hasil penilaian, yakni melakukan
perbaikan
dan penyempurnaan dalam hal program pendidikan dan pengajaran serta sistem
pelaksanaannya.
4.
Memberikan
pertanggungjawaban
(accountability) dari pihak sekolah kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
2.1.2.
Penilaian Proses Belajar
Penilaian
proses dilaksanakan saat proses pembelajaran berlangsung. Penilaian proses
merupakan penilaian yang menitik beratkan sasaran penilaian pada tingkat
efektifitas kegiatan belajar mengajar dalam rangka pencapaian tujuan
pengajaran.
Penilaian
proses belajar mengajar menyangkut penilaian terhadap kegiatan guru, kegiatan
siswa, pola interaksi guru-siswa dan keterlaksanaan proses belajar mengajar,
sedangkan penilaian hasil belajar menyangkut hasil belajar jangka panjang dan
hasil belajar jangka pendek.
Penilaian
proses belajar berkaitan dengan paradigma bahwa dalam kegiatan belajar kegiatan
utama terletak pada siswa, siswa yang secara dominan berkegiatan beajar mandiri
dan guru hanya melakukan pembimbingan. Dalam konteks ini guru harus
memantau berbagai kesukaran siswa dalam proses belajar tersebut setiap
pertemuan. Sedangkan untuk mengukur hasil belajar dilakukan ulangan harian,
tengah semester, dan akhir semester.
Pada
dasarnya, penilaian kelas mempunyai fungsi dan kegunaan sebagai berikut:
1.
Alat
penilaian
disusun dalam rangka menciptakan kesempatan bagi siswa untuk memperlihatkan
kemampuannya.
2.
Laporan
kemajuan
belajar siswa merupakan sarana komunikasi dan sarana kerja sama antara sekolah
dan orang tua, yang bermanfaat bagi kemajuan belajar siswa maupun pengembangan
sekolah.
Dengan
demikian dapat dikemukakan bahwa ciri penilaian kelas adalah sebagai berikut:
1.
Proses penilaian merupakan bagian integral dari proses pembelajaran
2.
Strategi yang digunakan mencerminkan kemampuan anak secara autentik
3.
Penilaiannya menggunakan acuan patokan atau criteria. Hal ini dilakukan untuk
mengetahui ketercapaian kompetensi siswa.
4.
Memanfaatkan berbagai jenis informasi
5.
Menggunakan berbagai cara dan alat penilaian.
6.
Menggunakan system pencatatan yang bervariasi
7.
Keputusan tingkat pencapaian hasil belajar berdasrkan berbaga informasi
Bersifat
holistis, penilaian yang menggabungkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor.
Di
samping ujian, ada berbagai bentuk dan teknik yang bisa dilakukan dalam
penilaian kelas, yaitu penilaian kinerja (performance), penilaian penugasan
(proyek atau project), penilaian hasil kerja (produk atau peoduct), penilaian
tertulis (paper dan pen), penilaian portopolio (portfolio), Checklist, dan
penilaian sikap.
Tindak
lanjut dari penilaian proses pembelajaran ( jika memperoleh hasil yang kurang
memuaskan) dilakukan Penelitian Tindakan Kelas ( PTK). Berarti seorang
guru berusaha mendiagnosa penyebab kesukaran anak didik dalam proses belajar
tersebut, pada gilirannya menemukan suatu cara seagai solusi permasalahan
tersebut. Inilah yang menjadi cikal bakal PTK bagi seorang guru. Berbeda halnya
dengan
kegiatan ujian, jika seorang guru menemukan anak didik tidak memenuhi kriteria
yang telah ditetapkan pada KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) maka solusinya
adalah melakukan pembelajaran remedial.
Tujuan
penilaian proses belajar-mengajar pada hakikatnya adalah untuk mengetahui
kegiatan belajar mengajar, terutama efesiensi, keefektifan, dan produktivitas
dalam mencapai tujuan pengajaran.
Dimensi
penilaian proses belajar-mengajar berkenaan dengan komponen-komponen proses
belajar-mengajar seperti tuju mengajaran pengajaran, metode, bahan pengajaran,
kegiatan belajar, kegiatan mengajar guru, dan penilaian.
2.1.3.
Fungsi Penilaian
Fungsi
Penilaian
Penilaian mempunyai sejumlah fungsi di dalam proses belajar mengajar, yaitu:
1.
Sebagai alat guna mengetahui apakah siswa talah menguasai pengetahuan,
nilai-nilai, norma-norma dan keterampilan yang telah diberikan oleh guru.
2.
Untuk mengetahui aspek-aspek kelemahan peserta didik dalam melakukan kegiatan
belajar.
3.
Mengetahui tingkat ketercapaian siswa dalam kegiatan belajar.
4.
Sebagai sarana umpan balik bagi seorang guru, yang bersumber dari siswa.
5.
Sebagai alat untuk mengetahui perkembangan belajar siswa.
6.
Sebagai materi utama laporan hasil belajar kepada para orang tua siswa.
2.2.
RUANG LINGKUP PENILAIAN PROSES DAN HASIL BELAJAR
2.2.1.
Sikap
Adalah
kebiasaan, motivasi, minat, bakat yang meliputi bagaimana sikap peserta didik
terhadap guu, mata pelajaran, orang tua, suasana sekolah, lingkungan, metode,
media dan penilaian.
2.2.2.
Pengetahuan dan Pemahaman
Pemahaman
peseta didik sudah mengetahui dan memahami tugas-tugasnya sebagai warga Negara,
warga
masyakat, warga sekolah, dan sebagainya
2.2.3.
Kecerdasan
Meliputi
apakah peserta didik samapi taraf tertentu sudah dapat memecahkan
masalah-masaah yang di hadapi dalam pelajaran.
2.2.4.
Perkembangan Jasmani
Meliputi
apakah jasmani peserta didik sudah berkembang secara harmonis, apaka peserta
didik sudah membiasakan diri hidup sehat
2.2.5.
Keterampilan
Hal
ini menjelaskan apakah peserta didik sudah terampil membaca, menulis dan
menghitung, apakah peserta didik sudah terampil menggambar, olahraga, dan
sebagainya.
3.1.
KOMPONEN PENILAIAN PROSES DAN hASIL PEMBELAJARAN
3.1.1.
Komponen Penilaian Proses Pembelajaran
Dimensi
penilaian proses belajar mengajar berkenan dengan komponen-komponen yang
membentuk proses belajar-mengajar dan keterkaitan atau hubungan diantara
komponen-komponen tersebut. Komponen pengajaran sebagai dimensi penilaian
proses belajar-mengajar setidak tidaknya mencakup :
1.
Tujuan pengajaran atau instruksional
2.
Bahan pengajaran
3.
Kondisi siswa dan kegiatan belajarnya.
4.
Kondisi guru dan kegiatan belajarnya.
5.
Alat dan sumber belajar yang digunakan.
6.
Tekhnik dan cara pelaksanaan penilaianya.
Aspek
aspek yang dinilai dari komponen-komponen diatas dapat dijelaskan sebagai
berikut:
Komponen
Tujuan Instruksional, yang meliputi aspek-aspek ruang lingkup tujuan, abilitas
yang terkandung didalamnya, rumusan tujuan , kesesuaian dengan kemampuan siswa,
jumlah dan waktu yang tersedia untuk mencapainya, kesesuaian dengan kurikulum
yang berlaku, keterlaksanaan dalam
pengajaran.
Komponen
Bahan Pengajaran, yang meliputi ruang lingkupnya , kesesuaian dngan tujuan,
tingkat kesulitan bahan kemudahan memperoleh dan mempelajarinya, daya gunanya
bagi siswa, keterlaksanaan sesuai dengan waktu yang tersedia, sumber-sumber
untuk mempelajarinya, cara mempelajarinya, kesinambungan bahan, relevansi bahan
dengan kebutuhan siswa, prasyarat mempelajarinya.
Komponen
Siswa, yang meliputi kemampuan prasyarat, minat dan perhatian, motivasi, sikap,
cara belajar yang dimiliki, hubungan sosialisasi dengan teman sekelas, masalah
belajar yang dihadapi, karakteristik dan kepribadian, kebutuhan belajar,
indetitas siswa dan keluarganya yang erat kaitannya dengan pendidikan di
sekolah.
Komponen
Guru, yang meliputi penguasaan mata pelajaran, keterampilan mengajar, sikap
keguruan, pengalaman engajar, cara mengajar, cara menilai, kemauan
mengembangkan profesinya, keterampilan berkomunikasi, kepribadian , kemampuan
dan kemauaan memberikan bantuan dan bimbingan kepada siswa, hubungan dengan
siswa dan rekan sejawatnya, penampilan dirinya, keterampilan lain yang
diperlukan.
Komponen
Alat dan Sumber Belajar, yang meliputi jenis alat dan jumlahnya, daya guna,
kemudahan pengadaanya, kelengkapannya, maanfaatnya bagi siswa dan guru, cara
pengunaanya. Dalam alat dan sumber belajar ini termasuk alat peraga, buku
sumber, laboratorium dan perlengkapan belajar lainya.
Komponen
Penilaian, yang meliputi jenis alat penilaian yang digunakan, isi dan rumusan
pertayaan, pemeriksaan dan interprestasinya, sistem penilaian yang digunakan,
pelaksanaan penilaian, tindak lanjut hasil penilaian, pemanfaatan hasil
penilaian, administrasi penilaian, tingkat kesulitan soal, validitas dan
reliabilitas soal penilaian, daya pembeda, frekuensi penilaian dan perencanaan
penilaian.
3.1.2.
Komponen Penilaian Hasil Belajar
Komponen
penilaian hasil belajar meliputi:
1.
Masukan baku/pasar (peserta didik) Departemen Pendidikan Nasional (2003)
menegaskan bahwa, peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha
mengembangkan dirinya melalui jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
2.
Masukan instrumental (kurikulum, metode mengajar, sarana dan guru)
1.
Kurikulum
Kurikulum
adalah perangkat mata pelajaran yang diberikan oleh suatu lembaga penyelenggara
pendidikan yang berisi rancangan pelajaran yang akan diberikan kepada peserta
pelajaran dalam satu periode jenjang pendidikan. Penyusunan perangkat mata
pelajaran ini disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan setiap jenjang
pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan tersebut.
1.
Metode Mengajar
Metode
pembelajaran adalah prosedur, urutan,langkah- langkah, dan cara yang digunakan
guru dalam
pencapaian
tujuan pembelajaran. Dapat dikatakan bahwa metode pembelajaran merupakan
jabaran dari pendekatan. Satu pendekatan dapat dijabarkan ke dalam berbagai
metode pembelajaran. Dapat pula dikatakan bahwa metode adalah prosedur
pembelajaran yang difokuskan ke pencapaian tujuan.
Dari
metode, teknik pembelajaran diturunkan secara aplikatif, nyata, dan praktis di
kelas saat pembelajaran berlangsung.
1.
Sarana
Sarana
pendidikan sebagai segala macam alat yang digunakan secara langsung dalam
proses pendidikan.
Sementara
prasarana pendidikan adalah segala macam alat yang tidak secara langsung
digunakan dalam proses pendidikan.
1.
Guru
Guru
adalah pendidik dan pengajar pada pendidikan anak usia dini jalur sekolah atau
pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru-guru seperti
ini harus mempunyai semacam kualifikasi formal. Dalam definisi yang lebih luas,
setiap orang yang mengajarkan suatu hal yang baru dapat juga dianggap seorang
guru.
3.
Masukan lingkungan (lingkungan sosial dan lingkungan bukan manusia)
Lingkungan
pendidikan merupakan lingkungan tempat berlangsungnya proses pendidikan yang
merupakan bagian dari lingkungan sosial. Lingkungan pendidikan dibagi menjadi
tiga yaitu: keluarga,
sekolah
dan masyarakat
4.
Keluaran (hasil output)
Output
pendidikan adalah hasil belajar (prestasi belajar) yg merefleksikan seberapa
efektif proses belajar mengajar diselenggarakan. Artinya prestasi belajar
ditentukan oleh tingkat efektifitas dan efisiensi proses belajar mengajar.
Ada
3 aspek yang dinilai dalam penilaian hasil pembelajaran antara lain:
Aspek Kognitif§
Aspek Afektif§
Aspek Psikomotrik§
3.2.
KRITERIA PENILAIAN PROSES DAN HASIL PEMBELAJARAN
4.2.1.
Kriteria penilaian proses
Pembelajaran
Menurut Nana Sudjana, bahwa penilaian proses belajar mengajar memiliki
kriteria, yaitu :
a.
Konsistensi
kegiatan
belajar mengajar dengan kurikulum Kurikulum adalah program belajar
mengajar yang telah
ditentukansebagai
acuan apa yang seharusnya dilaksanakan. Keberhasilan proses belajar mengajar
dilihat sejauh mana acuan tersebut dilaksanakan secara nyata dalam bentuk dan
aspek-aspek :
1).
Tujuan-tujuan pengajaran
2).
Bahan pengajaran yang diberikan
3).
Jenis kegiatan yang dilaksanakan
4).
Cara melaksanakan jenis kegiatan
5).
Peralatan yang digunakan untuk masing- masing kegiatan, dan
6).
Penilaian yang digunakan untuk setiap tujuan.
b.
Keterlaksanaannya oleh guru
Dalam
hal ini adalah sejauh mana kegiatan program yang telah dilaksanakan oleh guru
tanpa mengalami hambatan dan kesulitan yang berarti. Dengan apa yang
direncanakan dapat diwujudkan
sebagaimana
seharusnya, keterlaksanaan ini dapat dilihat dalam hal :
1).
Mengkodisikan kegiatan belajar siswa.
2).
Menyiapkan alat, sumber dan perlengkapan belajar.
3).
Waktu yang disediakan untuk waktu belajar mengajar.
4).
Memberikan bantuan dan bimbingan belajar kepada siswa.
5).
Melaksanakan proses dan hasil belajar siswa.
6).
Menggeneralisasikan hasil belajar saat itu dan tindak lanjut untuk kegiatan
belajar mengajar berikutnya.
c.
Keterlaksanaannya oleh siswa
Dalam
hal ini dinilai sejauh mana siswa melakukan kegiatan belajar mengajar dengan
program yang telah ditentukan guru tanpa mengalami hambatan dan kesulitan yang
berarti, keterlaksaan siswa
dapatdilihat
dalam hal:
1).
Memahami dan mengikuti petunjuk yang diberikan oleh guru.
2).
Semua siswa turut melakukan kegiatan belajar.
3).
Tugas-tugas belajar dapat diselesaikan sebagaimana mestinya.
4).
Manfaat semua sumber belajar yang disediakan guru.
5).
Menguasai tujuan-tujuan pengajaran yang telah ditetapkan guru.
d.
Motivasi belajar siswa
Keberhasilan
proses belajar-mengajar dapat dilihat dalam motivasi belajar yang ditujukan
para siswa pada saat melaksanakan kegiatan belajar mengajar . dalam hal :
-
Minat dan perhatian siswa terhadap pelajaran
-
Semangat siswa untuk melakukan tugas-tugas belajarnya
-
Tanggung jawab siswa dalam mengerjakan tugas-tugas belajarnya
-
Reaksi yang ditunjukan siswa terhadap stimulus yang diberikan guru
-
Rasa senang dan puas dalam mengerjakan tugas yang diberikan
e.
Keaktifan
para
siswa dalam kegiatan belajar Penilaian proses belajar mengajar terutama adalah
melihat sejauh mana keaktifan siswa dalam mengikuti proses belajar mengajar ,
keaktifan siswa dapat dilihat dalam hal :
-
Turut serta dalam melaksanakan tugas belajarnya
-
Terlibat dalam pemecahan masalah
-
Bertanya kepada siswa lain atau kepada guru apabila tidak memahami persoalan
yang dihadapi
-
Berusaha tahu mencari informasi yang diperlukan untuk pemecahan masalah
-
Melaksanakan diskusi kelompok sesuai dengan petunjuk guru
-
Menilai kemampuan dirinya dan hasil-hasil yang diperolehnya
-
Melatih diri dalam memecahkan masalah atau soal yang sejenis
-
Kesempatan mengunakan atau menerapkan apa yang telah diperolehnya dalam
menyelesaikan tugas atau persoalan yang dihadapinya.
f.
Interaksi
guru
siswa Interaksi guru siswa berkenaan dengan komunikasi atau hubugan timbal
balik atau hubungan dua arah antara siswa dan guru atau siswa dengan siswa
dalam melakukan kegiatan belajar mengajar, hal ini dapat dilihat:
-
Tanya jawab atau dialog antara guru dengan siswa atau antara siswa dengan siswa
-
Bantuan guru terhadap siswa yang mengalami kesulitan belajar, baik secara individual
mupun secara kelompok
-
Dapatnya guru dan siswa tertentu dijadikan sumber belajar
-
Senangtiasa beradanya guru dalam situasi belajar mengajar sebagai fasilitator
belajar
-
Tampilnya guru sebagai pemberi jalan eluar manakala siswa menghadapi jalan
buntu dalam tugas belajarnya
-
Adanya kesempatan mendapat umpan balik secara berkesinambungan dari hasil
belajar yang diperoleh siswa.
g.
Kemampuan atau keterampilan guru mengajar
Kemampuan
atau keterampilan guru mengajar merupakan puncak keahlian guru yang profesional
sebab
merupakan penerapan semua kemampuan yang telah dimilikinya dalam hal bahan
pengajaran, komunikasi dengan siswa, metode mengajar, dll. Beberapa indikator
dalam menilai kemampuan ini antara lain :
-
Menguasai bahan pelajaran yang diajarkan kepada siswa
-
Terampil berkomunikasi dengan siswa
-
Menguasai kelas sehingga dapat mengendalikan kegiatan kelas
-
Terampil mengunakan berbagai alat dan sumber belajar
-
Terampil mengajukan pertanyaan, baik lisan maupun tulisan
h.
Kualitas hasil belajar yang diperoleh siswa
Salah
satu keberhasilan proses belajar-mengajar dilihat dari hasil belajar yang
dicapai oleh siswa. Dalam hal ini aspek yang dilihat antara lain:
-
Perubahan pengetahuan, sikap dan perilaku siswa setelah menyelesaikan pengalaman
belajarnya.
-
Kualitas dan kuantitas penguasaan tujuan instruksional oleh para siswa
-
Jumlah siswa yang dapat mencapai tujuan instruksional minimal 75 dari jumlah
intrusional yang harus dicapai
-
Hasil belajar tahan lama diingat dan dapat digunakan sebagai dasar dalam
mempelajari bahan berikutnya.
4.2.2.
Kriteria Penilaian Hasil Pembelajaran
Kriteria
penilaian hasil pembelajaran antara lain :
1.
Dikembangkan dengan mengacu pada tiga aspek yaitu pengetahuan, keterampilam dan
sikap.
2.
Menggunakan berbagai cara didasarkan pada tuntutan kompetensi dasar
3.
Mengacu pada tujuan dan fungsi penilaian (sumatif, formatif) Tujuan dan fungsi
formatif: keputusannya aspek apa yang masih harus diperbaiki dan aspek apa yang
dianggap sudah memenuhi dari indikator penilaian. Tujuan dan fungsi sumatif:
keputusannya
apakah siswa dianggap mampu menguasai kualitas yang dikehendaki oleh tujuan
pembelajaran.
4.
Mengacu kepada prinsip diferensiasi
5.
Tidak bersifat diskriminatif
4.1
KESIMPULAN
Keberhasilan
pengajaran tidak hanya dilihat dari hasil belajar yang dicapai oleh siswa,
tetapi juga dari segi prosesnya. Hasil belajar pada dasarnya merupakan akibat
dari suatu proses belajar. Ini berarti optimalnya hasil belajar siswa
tergantung pula pada proses belajar siswadan proses mengajar guru. Oleh sebab
itu, perlu dilakukan penilaian terhadap proses belajar-mengajar
Dimensi
penilaian proses belajar-mengajar berkenaan dengan komponen-komponen proses
belajar-mengajar seperti tujuan pengajaran, metode, bahan pengajaran, kegiatan
belajar oleh murid, kegiatan
mengajar
guru, dan penilaian . Kriteria yang digunakan dalam menilai proses belajar
mengajar antara lain ialah konsitensi kegiatan belajar mengajar dengan
kurikulum, keterlaksanaan oleh guru, keterlaksanaanya oleh siswa, motivasi
belajar siswa, keaktifan siswa, interaksi guru siswa, kemampuan atau
ketrampilan guru, kualitas hasil belajar siswa.
6. Dimensi
penilaian
proses belajar-mengajar berkenaan dengan komponen-komponen hasil pembelajaran
seperti Masukan baku/pasar (peserta didik), Masukan instrumental (kurikulum,
metode mengajar, sarana dan guru), Masukan lingkungan (lingkungan sosial dan
lingkungan bukan manusia), dan Keluaran (hasil output) dari pembelajaran.
Sedangkan kriteria penilaian hasil pembelajaran antara lain dikembangkan dengan
mengacu pada tiga aspek yaitu pengetahuan, keterampilam dan sikap, menggunakan
berbagai cara didasarkan pada tuntutan kompetensi dasar, mengacu pada tujuan
dan fungsi penilaian (sumatif, formatif), mengacu kepada prinsip diferensiasi,
dan tidak bersifat diskriminatif
Penilaian pendidikan adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi
untuk menentukan pencapaian hasil belajar peserta didik. Untuk itu, diperlukan
standar penilaian. Standar penilaian pendidikan adalah standar nasional
pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian
hasil belajar peserta didik.
Tulisan tentang Standar Penilaian Pendidikan ini saya dasarkan pada
lampiran permendiknas 20/2007. Ada 4 (empat) tulisan/judul posting yang
merupakan satu rangkaian:
Tulisan ke-3: Teknik dan Instrumen Penilaian
1. Penilaian hasil belajar oleh pendidik menggunakan berbagai teknik
penilaian berupa tes, observasi, penugasan perseorangan atau kelompok, dan
bentuk lain yang sesuai dengan karakteristik kompetensi dan tingkat
perkembangan peserta didik.
2. Teknik tes berupa tes tertulis, tes lisan, dan tes praktik atau tes
kinerja.
3. Teknik observasi atau pengamatan dilakukan selama pembelajaran
berlangsung dan/atau di luar kegiatan pembelajaran.
4. Teknik penugasan baik perseorangan maupun kelompok dapat berbentuk
tugas rumah dan/atau proyek.
5. Instrumen penilaian hasil belajar yang digunakan pendidik memenuhi
persyaratan (a) substansi, adalah merepresentasikan kompetensi yang dinilai,
(b) konstruksi, adalah memenuhi persyaratan teknis sesuai dengan bentuk
instrumen yang digunakan, dan (c) bahasa, adalah menggunakan bahasa yang baik
dan benar serta komunikatif sesuai dengan taraf perkembangan peserta didik.
6. Instrumen penilaian yang digunakan oleh satuan pendidikan dalam
bentuk ujian sekolah/madrasah memenuhi persyaratan substansi, konstruksi, dan
bahasa, serta memiliki bukti validitas empirik.
7. Instrumen penilaian yang digunakan oleh pemerintah dalam bentuk UN
memenuhi persyaratan substansi, konstruksi, bahasa, dan memiliki bukti
validitas empirik serta menghasilkan skor yang dapat diperbandingkan
antarsekolah, antardaerah, dan antartahun.
KKM
Menentukan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) adalah dengan
mempertimbangkan tingkat kemampuan rata-rata peserta didik, kompleksitas
kompetensi, serta kemampuan sumber daya pendukung meliputi warga sekolah,
sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan pembelajaran. Satuan pendidikan
diharapkan meningkatkan kriteria ketuntasan belajar secara terus menerus untuk
mencapai kriteria ketuntasan ideal.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menentukan KKM adalah sebagai
berikut:
1. Hitung jumlah Kompetensi Dasar (KD) setiap mata pelajaran
setiap kelas!
2. Tentukan kekuatan/nilai untuk setiap aspek/komponen,
sesuaikan dengan kemampuan masing-masing aspek:
a. Aspek Kompleksitas:
Semakin komplek (sukar) KD maka nilainya semakin rendah tetapi semakin
mudah KD maka nilainya semakin tinggi.
b. Aspek Sumber Daya Pendukung
Semakin tinggi sumber daya pendukung maka nilainya semakin tinggi.
c. Aspek intake
Semakin tinggi kemampuan awal siswa (intake) maka nilainya
semakin tinggi.
3. Jumlahkan nilai setiap komponen, selanjutnya dibagi 3 untuk
menentukan KKM setiap KD!
4. Jumlahkan seluruh KKM KD, selanjutnya dibagi dengan
jumlah KD untuk menentukan KKM mata pelajaran!
5. KKM setiap mata pelajaran pada setiap kelas tidak sama
tergantung pada kompleksitas KD, daya dukung, dan potensi siswa.
LANGKAH-LANGKAH MENETAPKAN KKM
Berdasarkan surat Dirjendikdasmen No.1321/c4/MN/2004 tentang Pengkajian
Standar Ketuntasan Belajar Minimal (SKBM)),
>
atau Kretyeria Ketuntasan Minimal (KKM) Kurikulum 2004
dan sesuai dengan pelaksanaan Standar Isi, yang menyangkut masalah Standar
Kopetensi (SK) dan Kopetensi dasar (KDmaka sesuai dengan petunjuk dari Badan
Standar Nasional Pendidikan (BSNP) tahun 2006, maka dipandang perlu setiap
sekolah-sekolah untuk menentukan Standar Ketuntasan Minimal (KKM)-nya
masing-masing sesuai dengan keadaan sekolah dimana sekolah itu berada Artinya
antara sekolah A dengan sekolah B bisa KKM-nya berbeda satu sama lainnya.
Dalam penetapam KKM ini masih ada beberapa sekolah atau guru bidang study yang belum memahaminya. Akibatnya beberapa diantara guru mengalami kesulitan untuk menetapkam KKM pada Laporan Hasil Belajar Siswa (LHBS) atau dulu kita kenal dengan Rapor.
Sesuai dengan petunjuk yang ditetapkan oleh BSNP maka ada beberapa rambu-rambu yang harus diamati sebelum ditetapkan KKM di sekolah. Adapun rambu-rambu yang dimaksud adalah :
1. KKM ditetapkan pada awal tahun pelajaran.
2. KKM ditetapkan oleh forum MGMP sekolah.
3. KKM dinyatakan dalam bentuk prosentasi berkisar antara 0-100, atau rentang nilai yang sudah ditetapkan.
4. Kreteria ditetapkan untuk masing-masing indikator idealnya berkisar 75 %
5. Sekolah dapat menetapkan KKM dibawah kreterian ideal ( sesuai kondisi sekolah)
6. Dalam menentukan KKM haruslah dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan rata-rata peserta didik, kompleksitas indikator, serta kemampuan sumber daya pendudkung.
7. KKM dapat dicantumkan dalam LHBS sesuai model yang ditetapkan atau dipilih sekolah.
Dari berbagai rambu-rambu yang ada itu, selanjutnya melalui kegiatan Musyawarah Guru Bidang Study (MGMP) maka akan dapat diperoleh berapa KKM dari masing-masing bidang study.
Ada beberapa kreteria penetapan KKM yang dapat dilaksanakan , diantaranya :
1. Kompleksitas indikator ( kesulitan dan kerumitan)
2. Daya dukung ( sarana dan prasarana yang ada, kemampuan guru, lingkungan, dan juga masalah biaya)
3. Intake siswa ( masukan kemampuan siswa )
Kemudian dalam menafsirkan KKM dapat pula dilakukan dengan beberapa cara, dainataranya :
A.Dengan cara memberikan point pada setiap kreteria yang ditetapkan (dalam bentuk %):
1. Kompleksitas: ( tingkat kesulitan / kerumitan )
Kompleksitas tinggi pointnya = 1
Kompleksitas sedang pointnya = 2
Kompleksitas rendah poinya = 3
2. Daya dukung : ( Sarana/ prasarana, kemampuan guru, lingkungan dan biaya)
Daya dukung tinggi pointnya = 3
Daya dukung sedang pointnya = 2
Daya dukung rendah pointnya = 1
3. Intake Siswa : ( masukan kemampuan siswa)
Intake siswa tinggi pointnya = 3
Intake siswa sedang pointnya = 2
Intake siswa rendah poinnya = 1
Contoh :
Jika indikator memiliki kreteria sebagai berikut:
Kompleksitas rendah =3, daya dukung tinggi =3, intake siswa sedang = 2, maka KKM-nya adalah (3 + 3 + 2) x 100 = 88,89 %
9
B. Dengan menggunakan rentang nilai pada setiap kreteria, yakni :
1. Kompleksitas: ( tingkat kesulitan / kerumitan )
Kompleksitas tinggi rentang nilainya = 50-64
Kompleksitas sedang rentang nilainya = 65-80
Kompleksitas rendah rentang nilainya = 81-100
2. Daya dukung : ( Sarana/ prasarana, kemampuan guru, lingkungan dan biaya)
Daya dukung tinggi rentang nilainya = 81-100
Daya dukung sedang rentang nilainya = 65-80
Daya dukung rendah rentang nilainya = 50-64
3.Intake Siswa : ( masukan kemampuan siswa)
Intake siswa tinggi rentang nilainya = 81-100
Intake siswa sedang rentang nilainya = 65-80
Intake siswa rendah rentang nilainya = 50-64
Jika indikatyor memiliki Kreteria sebagai berikut: kompleksitas sedang, daya dukung tinggi, dan intake sedang, maka KKM-nya adalah rata-rata setiap unsur dari kreteria yang telah kita tentukan. ( Dalam menentukan rentang nilai dan menentuikan nilai dari setiap kreteria perlu kesepakatan dalam forum MGMP).
Contoh:
Kompleksitas sedang =75, daya dukung tinggi= 90, intake sedang = 70 maka KKM-nya adalah ( 75 + 90 +70) = 78,3
3
c. Dengan cara memberikan pertimbangan profesional judgment pada setiap kreteria untuk menetapkan nilai :
1. Kompleksitas: ( tingkat kesulitan / kerumitan )
Kompleksitas tinggi
Kompleksitas sedang
Kompleksitas rendah
2.Daya dukung : ( Sarana/ prasarana, kemampuan guru, lingkungan dan biaya)
Daaya dukung tinggi
Daya dukung sedang
Daya dukung rendah
3.Intake Siswa : ( masukan kemampuan siswa)
Intake siswa tinggi
Intake siswa sedang
Intake siswa rendah
Contoh :
Jika indikator memiliki kreteria sebagai berikut : kompleksitas rendah, daya dukung tinggi dan intake siswa sedang, maka dapat dikatakan bahwa dari ketiga komponen diatas hanya satu komponen saja yang mempengaruhi untuk mencapai ketuntasan masimal 100 yaitu intake (sedang). Jadi dalam hal ini guru dapat menetapkan kreteria ketuntasan antara 90-80. ( Pedoman penetapa KKM dar BSNP, 20006)
Dalam menafsirkan KKM sebelumnya kita harus mengetahui bagaimana tingkatan-tingkatan dari komponen seperti kompleksitas, daya dukung, dan intake. Hal ini dimaksudkan agar guru bidang study melalui MGMP atau pihak sekolah jangan sampai salah dalam menetapkan KKM, karana bila salah dalam menentukan KKM akan sangat merugikan pada siswa.
Karena sesuai dengan peraturan apabila sampai mata pelajaran diperoleh anak berada dibawah KKM ( tidak tuntas ), maka anak tersebut tidak memenuhi syarat untuk naik kelas, bila samapi minimimal tiga mata pelajaran yang tidak tuntas.. Artinya kompetensi dasar yang diharapkan pada siswa tersebut tidak tercapai.
Untuk komponen kompleksitas misalnya, kapan kompleksitas ( kesulitan/ kerumitan) itu dikatakan Tingkat Kompleksitas Tinggi ? yakni bila dalam pelaksanaannya menuntut Sumber Daya Manusia (SDM), termasuk didalamnya memahami kopetensi yang harus dicapai oleh siswa, kreatif dan inofatif dalam melaksanakan pembelajaran. Kemudian waktu, diantaranya waktunya cukup lama, karena perlu penguilangan. Serta Penalaran dan Kecermatan siswa yang tinggi.
Sedangkan Kemampuan Sumber Daya pendukung, yaitu tenaga pengajar yang memadai(sesuai dengan latar belakang keahliannya), sarana dan prasdarana pendukung dalam bidang pendidikan, biaya manajemen, komite sekolah dan stakeholders sekolah.
Terakhir Intake ( tingkat kemampuan rata-rata siswa), untuk memperoleh gambaran intake ini kita bisa melihat dari berbagai cara, diantaranya dari hasil seleksi penerimaan siswa baru, dari hasil raport kelas terakhir dari tahun sebelumnya, dari tes seleksi masuk atau psikotes, dan juga bisa dari ujian nasional pada jenjang sebelumnya.
Setelah KKM diperoleh, maka selanjutnya KKM itu dimasukkan pada Laporan Hasil Belajar Siswa. Dari KKM inilah kita nantinya akan dapat mengetahui apakah siswa tuntas atau tidak tuntas dalam pencapaian Kompetensi Dasar serta indikator yang diharapkan.
Kalau nilai yang diperoleh siswa berada dibawah KKM maka diartikan bahwa siswa itu belum tuntas, dan begitu juga sebaliknya bila nilai siswa berada diatas KKM maka siswa tersebut dinyatakan tuntas dalam pencapaian kompetensi dasar serta indikator-indikator yang dilaksanakan oleh guru.
Untuk itu, sebelum melaksanakan penilaian maka terlebih dahulu harus ditetapkan KKM (Kreteria Ketuntasan Minimal ) terlebih dahulu. Selamat merumuskan penetapan KKM di sekolah masing-masing. )*
Dalam penetapam KKM ini masih ada beberapa sekolah atau guru bidang study yang belum memahaminya. Akibatnya beberapa diantara guru mengalami kesulitan untuk menetapkam KKM pada Laporan Hasil Belajar Siswa (LHBS) atau dulu kita kenal dengan Rapor.
Sesuai dengan petunjuk yang ditetapkan oleh BSNP maka ada beberapa rambu-rambu yang harus diamati sebelum ditetapkan KKM di sekolah. Adapun rambu-rambu yang dimaksud adalah :
1. KKM ditetapkan pada awal tahun pelajaran.
2. KKM ditetapkan oleh forum MGMP sekolah.
3. KKM dinyatakan dalam bentuk prosentasi berkisar antara 0-100, atau rentang nilai yang sudah ditetapkan.
4. Kreteria ditetapkan untuk masing-masing indikator idealnya berkisar 75 %
5. Sekolah dapat menetapkan KKM dibawah kreterian ideal ( sesuai kondisi sekolah)
6. Dalam menentukan KKM haruslah dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan rata-rata peserta didik, kompleksitas indikator, serta kemampuan sumber daya pendudkung.
7. KKM dapat dicantumkan dalam LHBS sesuai model yang ditetapkan atau dipilih sekolah.
Dari berbagai rambu-rambu yang ada itu, selanjutnya melalui kegiatan Musyawarah Guru Bidang Study (MGMP) maka akan dapat diperoleh berapa KKM dari masing-masing bidang study.
Ada beberapa kreteria penetapan KKM yang dapat dilaksanakan , diantaranya :
1. Kompleksitas indikator ( kesulitan dan kerumitan)
2. Daya dukung ( sarana dan prasarana yang ada, kemampuan guru, lingkungan, dan juga masalah biaya)
3. Intake siswa ( masukan kemampuan siswa )
Kemudian dalam menafsirkan KKM dapat pula dilakukan dengan beberapa cara, dainataranya :
A.Dengan cara memberikan point pada setiap kreteria yang ditetapkan (dalam bentuk %):
1. Kompleksitas: ( tingkat kesulitan / kerumitan )
Kompleksitas tinggi pointnya = 1
Kompleksitas sedang pointnya = 2
Kompleksitas rendah poinya = 3
2. Daya dukung : ( Sarana/ prasarana, kemampuan guru, lingkungan dan biaya)
Daya dukung tinggi pointnya = 3
Daya dukung sedang pointnya = 2
Daya dukung rendah pointnya = 1
3. Intake Siswa : ( masukan kemampuan siswa)
Intake siswa tinggi pointnya = 3
Intake siswa sedang pointnya = 2
Intake siswa rendah poinnya = 1
Contoh :
Jika indikator memiliki kreteria sebagai berikut:
Kompleksitas rendah =3, daya dukung tinggi =3, intake siswa sedang = 2, maka KKM-nya adalah (3 + 3 + 2) x 100 = 88,89 %
9
B. Dengan menggunakan rentang nilai pada setiap kreteria, yakni :
1. Kompleksitas: ( tingkat kesulitan / kerumitan )
Kompleksitas tinggi rentang nilainya = 50-64
Kompleksitas sedang rentang nilainya = 65-80
Kompleksitas rendah rentang nilainya = 81-100
2. Daya dukung : ( Sarana/ prasarana, kemampuan guru, lingkungan dan biaya)
Daya dukung tinggi rentang nilainya = 81-100
Daya dukung sedang rentang nilainya = 65-80
Daya dukung rendah rentang nilainya = 50-64
3.Intake Siswa : ( masukan kemampuan siswa)
Intake siswa tinggi rentang nilainya = 81-100
Intake siswa sedang rentang nilainya = 65-80
Intake siswa rendah rentang nilainya = 50-64
Jika indikatyor memiliki Kreteria sebagai berikut: kompleksitas sedang, daya dukung tinggi, dan intake sedang, maka KKM-nya adalah rata-rata setiap unsur dari kreteria yang telah kita tentukan. ( Dalam menentukan rentang nilai dan menentuikan nilai dari setiap kreteria perlu kesepakatan dalam forum MGMP).
Contoh:
Kompleksitas sedang =75, daya dukung tinggi= 90, intake sedang = 70 maka KKM-nya adalah ( 75 + 90 +70) = 78,3
3
c. Dengan cara memberikan pertimbangan profesional judgment pada setiap kreteria untuk menetapkan nilai :
1. Kompleksitas: ( tingkat kesulitan / kerumitan )
Kompleksitas tinggi
Kompleksitas sedang
Kompleksitas rendah
2.Daya dukung : ( Sarana/ prasarana, kemampuan guru, lingkungan dan biaya)
Daaya dukung tinggi
Daya dukung sedang
Daya dukung rendah
3.Intake Siswa : ( masukan kemampuan siswa)
Intake siswa tinggi
Intake siswa sedang
Intake siswa rendah
Contoh :
Jika indikator memiliki kreteria sebagai berikut : kompleksitas rendah, daya dukung tinggi dan intake siswa sedang, maka dapat dikatakan bahwa dari ketiga komponen diatas hanya satu komponen saja yang mempengaruhi untuk mencapai ketuntasan masimal 100 yaitu intake (sedang). Jadi dalam hal ini guru dapat menetapkan kreteria ketuntasan antara 90-80. ( Pedoman penetapa KKM dar BSNP, 20006)
Dalam menafsirkan KKM sebelumnya kita harus mengetahui bagaimana tingkatan-tingkatan dari komponen seperti kompleksitas, daya dukung, dan intake. Hal ini dimaksudkan agar guru bidang study melalui MGMP atau pihak sekolah jangan sampai salah dalam menetapkan KKM, karana bila salah dalam menentukan KKM akan sangat merugikan pada siswa.
Karena sesuai dengan peraturan apabila sampai mata pelajaran diperoleh anak berada dibawah KKM ( tidak tuntas ), maka anak tersebut tidak memenuhi syarat untuk naik kelas, bila samapi minimimal tiga mata pelajaran yang tidak tuntas.. Artinya kompetensi dasar yang diharapkan pada siswa tersebut tidak tercapai.
Untuk komponen kompleksitas misalnya, kapan kompleksitas ( kesulitan/ kerumitan) itu dikatakan Tingkat Kompleksitas Tinggi ? yakni bila dalam pelaksanaannya menuntut Sumber Daya Manusia (SDM), termasuk didalamnya memahami kopetensi yang harus dicapai oleh siswa, kreatif dan inofatif dalam melaksanakan pembelajaran. Kemudian waktu, diantaranya waktunya cukup lama, karena perlu penguilangan. Serta Penalaran dan Kecermatan siswa yang tinggi.
Sedangkan Kemampuan Sumber Daya pendukung, yaitu tenaga pengajar yang memadai(sesuai dengan latar belakang keahliannya), sarana dan prasdarana pendukung dalam bidang pendidikan, biaya manajemen, komite sekolah dan stakeholders sekolah.
Terakhir Intake ( tingkat kemampuan rata-rata siswa), untuk memperoleh gambaran intake ini kita bisa melihat dari berbagai cara, diantaranya dari hasil seleksi penerimaan siswa baru, dari hasil raport kelas terakhir dari tahun sebelumnya, dari tes seleksi masuk atau psikotes, dan juga bisa dari ujian nasional pada jenjang sebelumnya.
Setelah KKM diperoleh, maka selanjutnya KKM itu dimasukkan pada Laporan Hasil Belajar Siswa. Dari KKM inilah kita nantinya akan dapat mengetahui apakah siswa tuntas atau tidak tuntas dalam pencapaian Kompetensi Dasar serta indikator yang diharapkan.
Kalau nilai yang diperoleh siswa berada dibawah KKM maka diartikan bahwa siswa itu belum tuntas, dan begitu juga sebaliknya bila nilai siswa berada diatas KKM maka siswa tersebut dinyatakan tuntas dalam pencapaian kompetensi dasar serta indikator-indikator yang dilaksanakan oleh guru.
Untuk itu, sebelum melaksanakan penilaian maka terlebih dahulu harus ditetapkan KKM (Kreteria Ketuntasan Minimal ) terlebih dahulu. Selamat merumuskan penetapan KKM di sekolah masing-masing. )*
PENELITIAN TINDAKAN KELAS (Suatu Reflektif dalam Perbaikan
Kualitas Pembelajaran)
A.
PENDAHULUAN
Suatu
pembelajaran dikatakan berhasil apabila timbul perubahan tingkah laku positif
pada peserta didik sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah direncanakan.
Konteks ini pada dasarnya bergantung pada guru sebagai elemen penting dalam
kegiatan pembelajaran.
Memang saat
ini sudah menjadi tidak lazim apabila seseorang guru menjadi dominator kegiatan
pembelajaran di kelas, namun hal ini bukan berarti guru lepas tanggung jawab
terhadap keberhasilan siswanya dalam belajar. Untuk mewujudkan tanggung jawab
tersebut guru harus selalu proaktif dan responsive terhadap semua
fenomena-fenomena yang dijumpai di kelas.
Sejalan
dengan pernyataan di atas, saat ini upaya perbaikan pendidikan dilakukan dengan
pendekatan konstruktivis. Oleh karena itu guru tidak hanya sebagai penerima
pembaharuan pendidikan, namun ikut bertanggungjawab dan berperan aktif dalam
melakukan Pembaharuan pendidikan serta mengembangkan pengetahuan dan
keterampilannya melalui penelitian tindakan dalam pengelolaan
pembelajaran di kelasnya.
Paling tidak
ada tiga alasan mengapa penelitian tindakan kelas atau classroom actuion
research merupakan langkah yang tepat dalam upaya memperbaiki atau meningkatkan
mutu pendidikan. Ketiga alasan tersebut adalah:
- Guru berada di garis depan dan terlibat langsung dalam proses tindakan perbaikan mutu pendidikan tersebut,
- Penelitian pada umumnya dilakukan para ahli di perguruan tinggi/lembaga pendidikan, sehingga guru tidak terlibat dalam pembentukan pengetahuan yang merupakan hasil penelitian.
- Penyebaran hasil penelitian ke kalangan praktisi di lapangan memerlukan waktu lama.
PENELITIAN
TINDAKAN KELAS
1. Sejarah
Lahirnya PTK
Konsep
penelitian guru mula-mula dikemukakan oleh Lawrence Stenhouse di United Kingdom
(UK), yang mengaitkan antara Penelitian tindakan (action research) dan
konsepnya tentang guru sebagai peneliti. Kemudian John Elliott mempopulerkan
Penelitian Tindakan sebagai metode guru mengadakan penelitian di kelas mereka
melalui Ford Teaching Project dan selanjutnya mendirikan Jaringan PTK (Classroom
Action Research Network).
Selanjutnya
Stephen Kemmis memikirkan bagaimana konsep Penelitian Tindakan ini diterapkan
pada bidang pendidikan (Kemmis,1983). Berpusat pada Deakin University di
Australia, Kemmis dan kolegannya telah menghasilkan suatu seri publikasi dan
materi pelajaran tentang Penelitian Tindakan, Pengembangan kurikulum, dan
evaluasi. Selanjutnya, artikel mereka mengenai Penelitian Tindakan
(Kemmis,1983) bermanfaat untuk pengembangan penelitian Tindakan dalam bidang
pendidikan.
2.
Pengertian PTK
Penelitian
Tindakan kelas (PTK) yang dikenal dengan nama Classroom Action Reserch
merupakan suatu model penelitian yang dikembangkan di kelas. Ide tentang
penelitian tindakan pertama kali dikembangkan oleh Kurt dan lewin pada tahun
1946.
Menurut
Stephen Kemmis (1983), PTK atau action research adalah suatu bentuk penelaahan
atau inkuiri melalui refleksi diri yang dilakukan oleh peserta kegiatan
pendidikan tertentu dalam situasi sosial (termasuk pendidikan) untuk
memperbaiki rasionalitas dan kebenaran dari (a) praktik-praktik sosial atau
pendidikan yang mereka lakukan sendiri, (b) pemahaman mereka terhadap
praktik-praktik tersebut, dan (c) situasi di tempat praktik itu dilaksanakan
(David Hopkins, 1993:44).
Sedangkan
Tim Pelatih Proyek PGSM (1999) mengemukakan bahwa Penelitian Tindakan kelas
adalah suatu bentuk kajian yang bersifat reflektif oleh pelaku tindakan yang
dilakukan untuk meningkatkan kemantapan rasional dari tindakan mereka dalam
melaksanakan tugas, memperdalam pemahaman terhadap tindakan-tindakan yang
dilakukan itu, serta memperbaiki kondisi dimana praktik pembelajaran tersebut
dilakukan.
Sejalan
dengan pengertian di atas, Prabowo (2001) mendefinisikan makna dari penelitian
tindakan yaitu suatu penelitian yang dilakukan kolektif oleh suatu kelompok
sosial (termasuk juga pendidikan) yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas
kerja mereka serta mengatasi berbagai permasalahan dalam kelompok tersebut.
Definisi
tersebut diperjelas oleh pendapat kemmis dalam Kardi (2000) yang menyatakan
bahwa penelitian tindakan adalah studi sistematik tentang upaya memperbaiki
praktik penddikan oleh sekelompok peneliti melalui kerja praktik mereka sendiri
dan merefleksinya untuk mengetahui pengaruh-pengaruh kegiatan tersebut. Atau
bisa disederhanakan dengan kalimat yaitu upaya mengujicobakan ide dalam praktik
dengan tujuan memperbaiki atau mengubah sesuatu, mencoba memperoleh pengaruh
yang sebenarnyadalam situasi tersebut.
3. Tujuan
PTK
Sebagaimana
diisyaratkan di atas, PTK antara lain bertujuan untuk memperbaiki atau
meningkatkan praktik pembelajaran secara berkesinambungan yang pada dasarnya
”melekat” penunaian misi profesional kependidikan yang diemban oleh guru.
Dengan kata lain, tujuan utama PTK adalah untuk perbaikan dan peningkatan
layanan profesional guru. Di samping itu, sebagai tujuan penyerta PTK adalah
untuk meningkatkan budaya meneliti bagi guru.
4. Manfaat
PTK
Dengan
tertumbuhkannya budaya meneliti yang merupakan dampak bawaan dari pelaksanaan
PTK secara berkesinambungan, maka PTK bermanfaat sebagai inovasi pendidikan karena
guru semakin diberdayakan untuk mengambil berbagai prakarsa profesional secara
semakin mandiri.
Dengan kata
lain, karena para guru semakin memiliki suatu kemandirian yang ditopang oleh
rasa percaya diri. Di samping itu PTK juga bermanfaat untuk pengembangan
kurikulum dan untuk peningkatan profesionalisme calon guru.
5. Tahap –
tahap PTK
Penelitian
Tindakan Kelas memiliki empat tahap yang dirumuskan oleh Lewin (Kemmis dan Mc
Taggar, 1992) yaitu planning (rencana), Action (tindakan), Observation
(pengamatan) dan Reflection (Refleksi). Untuk lebih memperjelas mari
kita perhatikan tahapan-tahapan berikut:
a. Planning (rencana)
Rencana
merupakan tahapan awal yang harus dilakukan guru sebelum melakukan sesuatu.
Diharapkan rencana tersebut berpandangan ke depan, serta fleksibel untuk
menerima efek-efek yang tak terduga dan dengan rencana tersebut secara dini
kita dapat mengatasi hambatan.
b. Action (Tindakan)
Tindakan ini
merupakan penerapan dari perencanaan yang telah dibuat yang dapat berupa
suatu penerapan model pembelajaran tertentu yang bertujuan untuk memperbaiki
atau menyempurnakan model yang sedang dijalankan. Tindakan tersebut dapat
dilakukan oleh mereka yang terlibat langsung dalam pelaksanaan suatu model
pembelajaran yang hasilnya juga akan dipergunakan untuk penyempurnaan
pelaksanaan tugas.
c.
Observation
(Pengamatan)
Pengamatan
ini berfungsi untuk melihat dan mendokumentasikan pengaruh-pengaruh yang
diakibatkan oleh tindakan dalam kelas. Hasil pengamatan ini merupakan dasar
dilakukannya refleksi sehingga pengamatan yang dilakukan harus dapat
menceritakan keadaan yang sesungguhnya.
d.
Reflection (Refleksi)
Refleksi di
sini meliputi kegiatan : analisis, sintesis, penafsiran (penginterpretasian),
menjelaskan dan menyimpulkan. Hasil dari refleksi adalah diadakannya revisi
terhadap perencanaan yang telah dilaksanakan, yang akan dipergunakan untuk
memperbaiki kinerja guru pada pertemuan selanjutnya.
Dengan
demikian, penelitian tindakan tidak dapat dilaksanakan dalam sekali pertemuan
karena hasil refleksi membutuhkan waktu untuk untuk melakukannya sebagai planning
untuk siklus selanjutnya. Untuk lebih memperjelas fase-fase dalam penelitian
tindakan, siklus spiralnya dan bagaimana pelaksanaanya, Kemmis menggambarkannya
dalam siklus sebagai berikut:
Sedangkan
model penelitian tindakan yang dikembangkan oleh John Elliot dapat digambarkan
sebagai berikut
6.
Prinsip-Prinsip PTK
Terdapat
enam prinsip yang mendasari PTK yang dijelaskan Hopkins dalam Kardi (2000).
Keenam prinsip tersebut adalah sebagai beriktut.
(1) Tugas
utama guru adalah mengaiar, dan apapun metode PTK yang diterapkannya, sebaiknya
tidak mengganggu komitmennya sebagai pengajar.
(2) Metode
pengumpulan data yang digunakan tidak menuntut waktu yang berlebihan dari guru
sehingga berpeluang mengganggu proses pembelajaran.
(3)
Metodologi yang digunakan harus cukup reliabel, sehingga memungkinkan guru
mengidentifikasi serta merumuskan hipotesis secara cukup meyakinkan,
mengembangkan strategi yang dapat diterapkan pada situasi kclasnya, serta
memperolch data yang dapat digunakan untuk “menjawab” hipotesis yang
dikemukakannya.
(4) Masalah
penelitian yang diambil olch guru hendaknya masalah yang Cukup merisaukannya,
dan bertolak dari tanggung jawab profesionalnya, guru sendiri memiliki komitmen
terhadap pengatasannya.
(5)
Dalam penyelenggaraan PTK, guru haruslah bersikap konsisten menaruh kepedulian
tinggi terhadap prosedur etika yang berkaitan dengan pekerjaannya.
(6) Meskipun
kelas merupakan cakupan tanggung jawab seorang guru, namun dalam pelaksanaan
PTK sejauh mungkin harus digunakan Classroom Exceeding Perspective,
dalam arti permasalahan tidak dilihat terbatas dalam konteks kclas dan/atau
mata pelajaran tertentu, melainkan dalam perspektif misi sekolah secara
keseluruhan.
7.
Prosedur Pelaksanaan PTK
Penelitian
Tindakan Kelas merupakan proses pengkajian melalui sistem berdaur atau siklus
dari berbagai kegiatan pembelajaran. Menurut Raka Joni dan kawan-kawan (1998),
terdapat 5 (lima) tahapan dalam pelaksanaan PTK. Kelima tahapan dalam
pelaksanaan PTK tersebut adalah :
a.
Pengembangan fokus masalah pcnelltian
b.
Perencanaan Tindakan Perbaikan
c.
Pelaksanaan tindakan perbaikan. Observasi dan Interpretasi
d. Analisis
dan refleksi
e.
Perencanaan tindak lanjut
Selanjutnya
alur pelaksanaan PTK dapat digambarkan seperti gambar 3 berikut :
8.
Penetapan Fokus Masalah Penelitian
(1) Merasakan Adanya Masalah
Pertanyaan
yang mungkin timbul bagi pemula PTK adalah: Bagaimana memulai Penelitian
Tindakan Kelas? Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut, pertama-tama yang
harus dimiliki guru adalah perasaan ketidakpuasan terhadap praktik pembelajaran
yang selama ini dilakukannya. Manakala guru merasa puas terhadap apa yang ia
lakukan terhadap proses pembelajaran di kelasnya, meskipun sebenarnya terdapat
banyak hambatan yang dialami dalam pengelolaan proses pembelajaran, sulit
kiranya bagi guru untuk memunculkan pertanyaan seperti di atas, yang kemudian
dapat memicu untuk dimulainya sebuah PTK (Suyanto,1997).
Oleh sebab
itu, agar guru dapat menerapkan PTK dalam upayanya untuk memperbaiki atau
meningkatkan layanan pembelajaran secara lebih profesional, ia dituntut
keberaniannya untuk mengatakan secara jujur khususnya kepada dirinya sendiri
mengenai sisi-sisi lemah yang masih terdapat dalam implementasi program
pembelajaran yang dikelolanya.
Oleh karena
itu, untuk memanfaatkan secara maksimal potensi PTK bagi perbaikan proses
pembelajaran, guru perlu memulainya sedini mungkin begitu ia merasakan adanya
persoalan-persoalan dalam proses pembelajaran.
Dengan kata
lain, permasalahan yang diangkat dalam PTK harus benar-benar merupakan
masalah-masalah yang dihayati oleh guru dalam praktik pembelajaran yang
dikelolanya, bukan permasalahan yang disarankan, apalagi ditentukan oleh pihak
luar. Permasalahan tersebut dapat berangkat (bersumber) dari siswa, guru, bahan
ajar, kurikulum, intcraksi pembelajaran dan hasil belajar siswa.
(2) Identifikasi Masalah PTK
Sebagaimana
telah dikemukakan di atas, penerapan arah PTK berangkat dari diagnosis terhadap
keadaan yang bersifat umum. Guru dapat menemukan permasalahan tersebut dengan
bertolak dari gagasan-gagasan yang masih bersifat umum mengenai keadaan yang
perlu diperbaiki.
Menurut
Hopkins (1993), untuk mendorong pikiran dalam mengembangkan fokus PTK, kita
dapat bertanya pada diri sendiri, misalnya:
- Apa yang sedang terjadi sekarang?
- Apa yang terjadi itu mengandung permasalahan?
- Apa yang dapat saya lakukan untuk mengatasinya?
Bila
pertanyaan tersebut telah ada di dalam pikiran guru, maka langkah berikutnya
adalah mengembangkan beberapa pertanyaan scbagai bcrikut.
- Saya berkeinginan memperbaiki …. . ….
- Berapa orangkah yang merasa kurang puas tentang …………..
- Saya dibingungkan oleh …………
- dan seterusnya
Pada tahap
ini, yang paling penting adalah menghasilkan gagasan-gagasan awal mengcnai
permasalahan aktual yang dialami guru di kelas. Dengan berangkat dari
gagasan-gagasan awal tersebut, guru dapat berbuat sesuatu untuk memperbaiki
keadaan dengan menggunakan PTK.
(3) Analisis Masalah
Setelah
memperoleh permasalahan-permasalahan melalui proses
identifikasi tersebut, maka peneliti-guru kelas melakukan analisis terhadap
masalah-masalah tersebut untuk menentukan urgensi pengatasan. Dalam hubungan
ini, akan ditemukan permasalahan yang sangat mendesak untuk diatasi seperti
misalnya penguasaan operasi matematik, atau yang dapat ditunda pengatasannya
tanpa kerugian yang besar.
Menurut
Abimanyu (1999) dalam buku Penelitian Tindakan kelas, bahwa arahan yang perlu
diperhatikan dalam penelitian untuk PTK adalah sebagai berikut :
- Pilih permasalahan yang dirasa penting olch guru sendiri dan siswanya, atau topik yang melibatkan guru dalam serangkaian aktivitas yang memang diprogramkan oleh sekolah.
- Jangan memilih masalah yang berada di luar kemampuan dan/atau kekuasaan guru untuk mengatasinya.
- Pilih dan tetapkan permasalahan yang skalanya cukup kecil dan terbatas.
- Usahakan untuk bekerja secara kolaboratif dalam pengembangan fokus penelitian.
- Kaitkan PTK yang akan dilakukan dengan prioritas-prioritas yang ditetapkan dalam rencana pengembangan sekolah.
(4) Perumusan Masalah
Setelah
menetapkan fokus permasalahan serta menganalisinya, maka guru selanjutnya perlu
merumuskan permasalahan secara lebih jelas, spesifik, dan operasional.
Perumusan masalah yang jelas akan membuka peluang bagi guru untuk menetapkan
tindakan perbaikan (alternatif solusi) yang perlu dilakukannya, jenis data yang
perlu dikumpulkan termasuk prosedur perekamannya serta cara
menginterpretasikannya.
9.
Perencanaan Tindakan
(1) Formulasi solusi dalam bentuk
hipotesis tindakan
Alternatif
tindakan perbaikan, juga dapat dilihat sebagai hipotesis dalam arti
mengidentifikasi dugaan mengenai perubahan perbaikan yang akan terjadi jika
suatu tindakan dilakukan. Jadi hipotesis tindakan adalah tindakan yang diduga
akan dapat memecahkan masalah yang ingin diatasi dengan peyelenggaraan PTK.
Bentuk umum
rumusan hipotesis tindakan berbeda dengan rumusan hipotesis penelitian formal.
Jika hipotesis penelitian formal menyatakan adanya hubungan antara dua variabel
atau lebih, atau menyatakan adanya perbedaan antara dua kelompok atau lebih,
maka hipotesis tindakan menyatakan “kita percaya tindakan kita akan mcrupakan
suatu solusi yang dapat memecahkan permasalahan yang diteliti”.
Agar dapat
menyusun hipotesis tindakan dengan tepat, guru sebagai peneliti perlu
melakukan:
- Kajian teoritik di bidang pembelajaran pendidikan.
- Kajian hasil-hasil penclitian yang relevan dengan permasalahan.
- Diskusi dengan rekan sejawat, pakar pendidikan, peneliti, dan sebagainya.
- Kajian pendapat dan saran pakar pendidikan, khusunya yang dituangkan dalam bentuk program.
- Merefeksikan pengalamannya sendiri sebagai guru.
Terdapat
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam merumuskan hipotesis tindakan.
Menurut Soedarsono (1997) dalam buku Penelitian Tindakan Kelas beberapa hal
tersebut adalah:
- Rumuskan alternatif tindakan perbaikan berdasarkan hasil kajian. Dengan kata lain, alternatif tindakan perbaikan hendaknya mempunyai landasan yang mantap secara konseptual.
- Setiap alternatif tindakan perbaikan yang dipertimbangkan, pcrlu dikaji ulang dan dievaluasi dari segi relevansinya dengan tujuan, kelaikan tektis serta keterlaksanaannya. Di samping itu, juga perlu ditetapkan cara penilaiannya sehingga dapat memfasilitasi pengumpulan serta analisis data secara cepat namun tepat,selama program perbaikan itu diimplementasikan.
- Pilih alternatif tindakan serta prosedurimplementasi yang dinilai paling menjanjikan hasil optimal, namun masih tetap ada dalam jangkauan kemampuan guru untuk melakukannya dalam kondisi dan situasi sekolah yang aktual.
- Pikirkan dengan seksama perubahan-perubahan yang secara implisit dijanjikan melalui hipotesis tindakan itu, baik yang berupa proses dan hasil belajar siswa maupun teknik mengajar guru.
(2) Analisis
kelaikan hipotesis tindakan
Setelah
diperoleh gambaran awal hipotesis tindakan, maka selanjutnya perlu dilakukan
pengkajian terhadap kelaikan dari masing-masing hipotesis tindakan itu dari
segi “jarak” antara situasi riil dengan situasi ideal yang dijadikan rujukan.
Oleh karena
itu, kondisi dan situasi yang dipersyaratkan untuk penyelenggaraan suatu
tindakan perbaikan dalam rangka PTK, harus ditetapkan sedemikian rupa sehingga
masih dalam batas-batas kemampuan guru, fasilitas tersedia di sekolah, dan
terjangkau oleh kemampuan berpikir siswa.
Dengan kata
lain, sebagai aktor PTK, guru hendaknya cukup realistis dalam menghadapi
kenyataan keseharian dunia sekolah di mana ia berada dan melaksanakan tugasnya.
Menurut
Soedarsono (1997) dalam buku Penelitian Tindakan Kelas, beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam mengkaji kelaikan hipotesis tindakan adalah sebagai berikut
:
- Implementasi suatu PTK akan berhasil, hanya apabila didukung olch kemampuan dan komitmen guru yang merupakan aktornya. Di pihak lain, untuk pelaksanaan PTK kadang-kadang masih diperlukan peningkatan kemampuan guru melalui berbagai bentuk pelatihan sebagai komponen penunjang. Selain itu, keberhasilan pelaksanaan PTK juga ditentukan oleh adanya komitmen guru yang merasa tergugah untuk melakukan tindakan perbaikan. Dengan kata lain, PTK dilakukan bukan karena ditugaskan oleh atasan atau bukan karena didorong oleh imbalan finansial.
- Kemampuan siswa juga perlu diperhitungkan baik dari segi fisik, psikologis, dan sosial budaya, maupun etik. Dengan kata lain, PTK seyogyanya tidak dilaksanakan apabila diduga akan berdampak merugikan siswa.
- Fasilitas dan sarana pendukung yang tersedia di kelas-atau di sekolah juga perlu diperhitungkan. Sebab, pclaksanaan PTK dengan mudah dapat tersabotase oleh kekurarangan dukungan fasilitas penyelenggaraan. Oleh karena itu,demi keberhasilan PTK, maka guru dituntut untuk dapat mengusahakan fasilitas dan sarana yang diperlukan.
- Selain kemampuan siswa sebagai perorangan, keberhasilan PTK juga sangat tergantung pada iklim belajar di kelas atau di sekolah. Namun, pertimbangan ini tentu tidak dapat diartikan sebagai keccnderungan untuk mempertahankan statuskuo. Dengan kata lain, perbaikan iklim belajar di kelas dan di sekolah justru dapat dijadikan scbagai salah satu sasaran PTK.
- Karena sekolah juga merupakan sebuah organisasi, maka selain iklim belajar sebagaimana dikemukakan di atas, iklim kerja sekolah juga menentukan keberhasilan penyelenggaraan PTK. Dengan kata lain, dukungan dari kepala sekolah serta rekan-rekan sejawat guru, dapat memperbesar peluang keberhasilan PTK.
(3)
Perencanaan Tindakan
Sebelum
dilaksanakan penelitian, peneliti perlu melakukan berbagai persiapan sehingga
semua komponen yang direncanakan dapat dikelola dengan baik. Langkah-langkah
persiapan yang perlu ditempuh adalah :
- Membuat skenario pembelajaran yang berisikan langkah-langkah yang dilakukan guru, di samping bentuk-bentuk kegiatan yang dilakukan siswa dalam rangka iplementasi tindakan perbaikan yang telah direncanakan.
- Mempersiapkan fasilitas dan sarana pendukung yang diperlukan di kelas, seperti gambar-gambar dan alat-alat peraga.
- Mempersiapkan cara merekam dan menganalisis data mengenai proses dan hasil tindakan perbaikan, kalau perlu juga dalam bentuk pelatihan-pelatihan.
- Melakukan simulasi pelaksanaan tindakan perbaikan untuk menguji keterlaksanaan rancangan, sehingga dapat menumbuhkan serta mempertebal kepercayaan diri dalam pelaksanaan yang sebenarnya. Sebagai aktor PTK, guru harus terbebas dari rasa gagal dan takut berbuat kesalahan.
10.
Pelaksanaan Tindakan dan Observasi Interpretasi
Atas dasar
uraian di atas, adalah sangat beralasan untuk beranggapan bahwa PTK dilakukan
oleh scorang guru atas prakarsanya sendiri, meskipun juga terbuka untuk
dilakukan secara kolaboratif. Ini berarti balwa observasi yang dilakukan oleh
guru sebagai aktor PTK tidak dapat digantikan oleh pengamat luar atau oleh
sarana perekam, betapapun canggihnya.
Dengan kata
lain, penyaturagaan implementasi tindakan dan observasi-interpretasi proses dan
hasil implementasi tindakan tersebut terjadi, tidak lebih dan tidak kurang,
karena keduanya merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dalam tindakan
alamiah pembelajaran.
Akhirnya
Hopkins (1993) dalam bukunya yang berjudul “A Teacher Guide to Clasroom
Research”. Secara eksplisit menandaskan bahwa paparan mengenai observasi itu
ditampilkannya bukan semata-mata dalam konteks PTK, melainkan dalam konteks
pengembangan guru dan sekolah yang lebih luas schingga juga melibatkan
supervisor (dalam hal ini, kepala sekolah dan/atau pengawas scbagai pelaksana
fungsional).
(1)
Pelaksanaan tindakan
Jika semua
tindakan telah usai, maka skenario tindakan perbaikan yang tclah direncanakan
itu telah dilaksanakan dalam situasi yang aktual. Kegiatan pelaksanaan tindakan
perbaikan ini merupakan tindakan pokok dalam siklus PTK, dan pada saat yang
bersamaan kegiatan pelaksanaan tindakan ini juga dibarengi dengan
kegiatan observasi dan interpretasi, serta diikuti dengan kegiatan refleksi.
Penggabungan
pelaksanaan tindakan dengan kegiatan observasi-interpretasi perlu dicermati
benar, sebab ha1 tersebut adalah ciri khlas dari PTK. Observasi dan
interpretasi memang lazim dalam konteks supervisi pengajaran, namun PTK
bukanlah supervisi pengajaran, meskipun mungkin saja dalam PTK ada dimensi
supervisi pengajaran.
(2) Obsevasi
dan Interpretasi
Secara umum,
observasi adalah upaya merekam segala peristiwa dan kegiatan yang terjadi
selama tindakan perbaikan berlangsung, dengan menggunakan atau tanpa bantu.
Perlu dicatat adalah kadar interpretasi yang terlibat dalam rekaman
observasi.
Mekanisme
perekaman hasil observasi perlu dirancang agar tidak mencampuradukkan antara
fakta dan interpretasi, namun juga tidak terscret oleh kaidah umum yang tanpa
kecuali menafsirkan Interpretasi dalam pelaksanaan observasi.
(3) Diskusi
balikan (review discussion)
Observasi
kelas akan memberikan manfaat apabila pelaksanaannya diikuti dengan diskusi
balikan. Balikan yang terburuk adalah yang terlalu dipusatkan kepada kekurangan
dan/atau kesalahan guru sebagai aktor tindakan perbaikan, yang diberikan secara
satu arah yaitu dari pengamat kepada guru, yang bertolak dan kesan-kesan yang
kurang didukung data, dan atau dilaksanakan terlalu lama setelah observasi
dilakukan.
Sebaliknya,
diskusi balikan menjanjikan manfaat yang optimal apabila:
- Diberikan tidak lebih dari 24 jam setelah observasi.
- Digelar dalam suasana yang mutually supportive dan non-threatening.
- Bertolak dari rekaman data yang dibuat olch pengamat.
- Diinterpretasikan secara bersama-sama olch aktor tindakan perbaikan dan
- Pengamat dengan kerangka pikir tindakan perbaikan yang telah digelar.
- Pembahasan mengacu kepada pencrapan sasaran serta pengembangan stategi perbaikan untuk menentukan perencanaan berikutnya.
11. Analisis
dan refleksi
Agar secara
efektif dapat melakukan pengambilan keputusan sebelum, sementara, dan setelah
sesuatu program pembelajaran dilaksanakan, guru dan juga ketika berperan
sebagai pelaksana PTK, melakukan refleksi dalam arti merenungkan secara intens
apa yang telah terjadi dan/atau tidak terjadi, serta menjajaki
alternatif-alternatif solusi yang perlu dikaji, dipilih dan dilaksanakan untuk
dapat mewujudkan apa yang dikehendaki.
Secara
teknis, rekleksi dilakukan dengan melakukan analisis dan sintesis, disamping
induksi. Suatu proses analitik terjadi apabila objek kajian diuraikan menjadi
bagian-bagian, serta dicermati unsure-unsurnya. Sedangkan suatu proses sintetik
terjadi apabila berbagai unsure obyek kajian yang telah diurai tersebut dapat
ditemukan kesamaan esensinya secara konseptual sehingga dapat ditampilkan
sebagai suatu kesatuan.
Dalam PTK,
pengembangan kemampuan berpikir reflektif atau kemampuan mencermati kembali
secara lebih rinci segala sesuatu yang telah dilakukan beserta
hasil-hasilnya-baik yang positif, maupun yang negatif-juga disebut reconnaissance.
Kegiatan reconnaissance dalam PTK, diperlukan untuk menemukan
titik-titik rawan, sehingga dapat dilanjutkan dengan mengidentifikasi serta
menetapkan sasaran-sasaran perbaikan baru, atau sekedar untuk menjelaskan
kegagalan implementasi sesuatu tindakan perbaikan.
Dengan kata
lain, refleksi dalam arti metodologik sebagaimana diuraikan di atas, merupakan
upaya membuat deduksi dan induksi silih berganti secara tepat meskipun tanpa
dukungan data yang memenuhi semua persyaratan secara tuntas. Namun sebaliknya,
kecepatan dalam menemukan gagasan-gagasan kunci yang dilandasi oleh refleksi –
secara akumulatif – menampilkan mutu kinerja yang tinggi. Dengan kata
lain, tindakan yang reflektif terbukti membuahkan berbagai perbaikan praktis
yang nyata.
(1)
Analisis Data
Analisis
data dalam rangka refleksi setelah implementasi suatu paket tindakan perbaikan,
mencakup proses dan dampak seperangkat tindakan perbaikan dalam suatu siklus
PTK sebagai keseluruhan. Dalam hubungan ini, analisis data adalah proses
menyeleksi, menyederhanakan, memfokuskan, mengabstraksikan, mengorganisasikan
data secara sistematis dan rasional untuk menampilkan bahan-bahan yang dapat digunakan
untuk menyusun jawaban terhadap tujuan PTK.
Analisis
data dilakukan melalui tiga tahap, yaitu reduksi data, paparan data, dan
penyimpulan. Reduksi data adalah proses penyederhanaan yang dilakukan melalui
seleksi, pemfokusan, dan pengabstraksian data mentah menjadi informasi yang
bermakna. Paparan data adalah proses penampilan data secara lebih sederhana
dalam bentuk paparan naratif, refresentasi grafis, dan sebagainya. Sedangkan
menyimpulkan adalah proses pengambilan intisari dari sajian data yang telah
terorganisasikan tersebut dalam bentuk pernyataan kalimat dan/atau formula yang
singkat dan padat tetapi mengandung pengertian luas.
(2)
Refleksi
Refleksi
dalam PTK adalah upaya untuk mengkaji apa yang telah terjadi dan/atau tidak
terjadi, apa yang telah dihasilkan atau yang belum berhasil dituntaskan dengan
tindakan perbaikan yang telah dilakukan. Hasil refleksi itu digunakan untuk
menetapkan langkah lebih lanjut, upaya mencapai tujuan PTK.
Dengan kata
lain, refleksi merupakan pengkajian terhadap keberhasilan atau kegagalan dalam
pencapaian tujuan sementara, dan untuk menentukan tindak lanjut dalam rangka
pencapaian berbagai tujuan sementara lainnya.
Apabila
dicermati, dalam proses refleksi tersebut tersebut dapat ditemukan
komponen-konponen sebagai berikut.
ANALISIS
PEMAKNAAN
PENJELASAN
PENYUSUNAN
KESIMPULAN
IDENTIFIKASI TINDAK LANJUT
Yang
kesemuanya itu dilakukan dalam kerangka pikir tindakan perbaikan yang telah
ditetapkan sebelumnya.
Meskipun
diantara kelima komponen tersebut nampak terdapat urutan yang logis, namun
dalam kenyataannya kelima komponen “terkunjungi” secara bersamaan dan
bolak-balik secara proses refleksi berlangsung.
Dengan kata
lain, dengan bertolak dari gambaran menyeluruh mengenai apa yang yang terjadi
pada siklus PTK yang baru terselesaikan, maka pelaksanaan PTK ada pada posisi
untuk menetapkan tindak lanjut. Apabila masih dipandang perlu, kembali dengan
selalu merujuk kepada kerangka pikir tindakan perbaikan yang telah ditetapkan
sebelumnya.
12. Rencana
Tindak Lanjut.
Sebagaimana
telah diisyaratkan hasil analisis dan refleksi akan menentukan apakan tindakan
yang telah dilaksanakan telah dapat mengatasi masalah yang memicu penyelenggara
PTK atau belum. Jika hasilnya belum memuaskan, maka dilakukan tindakan
perbaikan lanjutan dengan memperbaiki tindakan perbaikan sebelumnya atau,
apabila perlu, dengan menyusun tindakan perbaikan yang betul-betul baru uantuk
mengatasi masalah yang ada.
Dengan kata
lain, jika masalah yang diteliti belum tuntas, atau belum memuaskan
pengatasannya, maka PTK harus dilanjutkan pada siklus ke-2 dengan prosedur yang
sama seperti pada siklus ke-1, yaitu (perumusan masalah, perencanaan tindakan,
pelaksanaan tindakan, observasi dan analisis-refleksi).
Apabila pada
siklus ke-2 ini permasalahan sudah terselesaikan (memuaskan), maka tidak perlu
dilanjutkan dengan siklus ke-3. Namun, jika pada siklus ke-2 masalahnya belum
terselesaikan, maka perlu dilanjutkan dengan siklus ke-3, dan seterusnya.
Jadi, suatu
siklus dalam PTK sebenarnya tidak dapat ditentukan lebih dahulu jumlahnya.
Sebab-sesuai dengan hakikat permasalahan yang kebetulan menjadi pemicunya-ada
suatu penelitian yang cukup hanya dilakukan dalam satu siklus, karena
masalahnya dapat diselesaikan, namun ada juga yang memerlukan beberapa siklus.
Dengan
demikian, dapat dikatakan banyak sedikitnya jumlah siklus dalam PTK itu
tergantung pada terselesaikannya masalah yang diteliti dan munculnya
factor-faktor lain yang berkaitan dengan masalah itu.
Untuk
memperoleh hasil PTK yang memuaskan ada beberapa saran yang bisa
dipertimbangkan yaitu :
- Jangan memilih masalah yang anda tidak dapat berbuat apapun terhadap masalah tesebut.
- Tentukan topik yang ruang lingkupnya terbatas dan tidak terlampau luas.
- Pilhlah topik-topik yang penting bagi anda dan bagi siswa anda. Pada kegiatan ini sangat perlu dilandasi dengan motivasi intrinsic sehingga akan selalu memotivasi kita untuk melanjutkan walaupun seandainya dijumpai kesulitan dalam penelitian tersebut.
- Jika diperlukan, lakukanlah kolaborasi dengan teman sejawat karena hal ini sangat bermanfaat untuk perkembangan profesional seseorang.
- Kaitkan penelitian kelas anda dengan prioritas rencana pengembangan sekolah atau fungsi sekolah anda hal ini secara tidak langsung akan bermanfaat bagi perkembangan sekolah itu sendiri.
C. PENUTUP
Yang perlu
dicatat bahwa penelitian tindakan guru tidak diperlakukan sebagai obyek
penelitian, melainkan ikut serta dalam kegiatan penelitian untuk memperbaiki dan
menyempurnakan proses pembelajaran di kelas yang mereka bina. Dengan kata lain
guru diajak bekerja sama sebagai agen-agen pembaharu untuk menyempurnakan
proses belajar mengajar di kelas.
Penelitian
tindakan merupakan suatu jawaban dari problematika yang muncul selama ini yaitu
mengapa prestasi belajar putra-putri kita masih rendah walaupun sudah diberikan
tambahan belajar. Dengan melakukan penelitian tindakan kita akan segera
mendapatkan jawaban tentang apa yang diperlukan oleh anak didik kita.
Wynn Casino, Las Vegas - Mapyro
BalasHapusWynn is a five-star hotel and 부산광역 출장안마 casino 포천 출장샵 located 계룡 출장샵 in Paradise, Nevada. It has 5,748 spacious 김제 출장마사지 guest rooms 대구광역 출장마사지 and suites, and features a restaurant,